VOMITING / MUNTAH
1. DEFINISI MUNTAH / VOMITING
Muntah, juga disebut emesis, merupakan respons gejala
ke sejumlah pemicu berbahaya. Muntah adalah pengusiran kuat, dan berbeda dari
kembali regurgitasi-yang mudah dari isi lambung ke mulut. Meskipun tidak
menyenangkan, muntah adalah fungsi penting karena rids tubuh zat berbahaya.
Muntah adalah proses kompleks yang dihasilkan dari interaksi yang
terkoordinasi jalur saraf, otak, dan otot-otot sistem pencernaan. Titik pemicu
utama muntah di otak disebut postrema daerah. Struktur ini terkena bahan kimia
dalam aliran darah dan cairan cerebrospinal (cairan yang ditemukan di otak dan
sumsum tulang belakang). Studi ilmiah menunjukkan bahwa stimulasi postrema
daerah oleh berbagai macam obat serta racun bakteri, radiasi, dan kondisi
fisiologis, menginduksi muntah.
2.
MUNTAH
ORGANIK DAN NON ORGANIK
Muntah organic dan muntah non-organik. Muntah organik
disebabkan karena adanya suatu kelainan pada sistem organ tubuh. Sedangkan
muntah yang bersifat non-organik tanpa adanya kelainan di organ tubuh,
contohnya karena kekenyangan atau psikogenik (psikologi).
3.
MUNTAH
AKUT DAN MUNTAH KRONIK
Terdapat dua tipe muntah yaitu
yang akut dan kronis. Batasan muntah kronis apabila muntah lebih dari 2 minggu. Patofisiologi muntah merupakan proses refleks
dengan tingkat koordinasi yang tinggi dan dimulai dengan retching. Diafragma yang turun
dengan kuat dan konstriksi dari otot perut dengan relaksasidari kardia lambung
secara aktif memaksa isi lambung bergerak kembali ke esofagus. Prosesini
dikoordinasikan dalam pusat muntah medula yang dipengaruhi secara langsung
olehinervasi aferen dan secara tidak langsung oleh chemoreceptor trigger zone
dan sistem saraf pusat.
4.
GUMOH
A. DEFINISI
Regurgitasi adalah keluarnya kembali sebagian susu yang telah ditelan
melalui mulut dan tanpa paksaan, beberapa saat setelah minum susu (Depkes R.I,
1999).
Gumoh adalah keluarnya kembali sebagian susu yang telah ditelan ketika
beberapa saat setelah minum susu botol/ menyusui dan dalam jumlah sedikit.
(Depkes R.I, 1994).
Regurgitasi merupakan keadaan normal yang sering terjadi pada bayi dengan usia dibawah 6 bulan.
Seiring dengan bertambahnya usia, yaitu sampai usia diatas 6 bulan, maka regurgitas
semakin jarang dialami oleh anak.
B.
ETIOLOGI
1)
Posisi saat
menyusui yang tidak tepat
2)
Anak sudah
kenyang tetapi tetap diberi minum karena orang tuanya khawatir anaknya
kekurangan makan
3)
Posisi botol
4)
Terburu-buru/tergesa-gesa
5)
Dan lain-lain
6)
Bayi Gumoh
(Jawa) biasanya hanya untuk membersihkan sisa susu dari mulutnya. Gumoh menjadi
abnormal bila jumlahnya banyak dan pertambahan berat badan tidak mencukupi.
C.
PATOFISIOLOGI
Biasanya bayi mengalami gumoh setelah diberi makan. Selain karena pemakaian
gurita dan posisi saat menyusui, juga karena ia ditidurkan telentang setelah
diberi makan. Cairan yang masuk di tubuh bayi akan mencari posisi yang paling
rendah. Bila ada makanan yang masuk ke Esofagus atau saluran sebelum ke
lambung, maka ada refleks yang bisa menyebabkan bayi gumoh. Lambung yang penuh
juga bisa membuat bayi gumoh. Ini terjadi karena makanan yang terdahulu belum
sampai ke usus, sudah diisi makanan lagi. Akibatnya bayi tidak hanya mengalami
gumoh tapi juga bisa muntah. Lambung bayi punya kapasitasnya sendiri. Misalnya
bayi umur sebulan, ada yang sehari bisa minum 100 cc, tapi ada juga yang 120
cc.
D.
TANDA
GEJALA
1)
Mengeluarkan
kembali susu saat diberikan minum.
2)
Gumoh yang
normal terjadi kurang dari empat kali sehari.
3)
Tidak sampai
mengganggu pertumbuhan berat badan bayi.
4)
Bayi tidak
menolak minum.
E.
PENCEGAHANAN
1)
Perbaiki
teknik menyusui. Cara menyusui yang benar adalah mulut bayi menempel pada
sebagian areola dan dagu payudara ibu.
2)
Berikan ASI
saja sampai 6 bulan (ASI eksklusif). Pemberian makanan tambahan dibawah 6 bulan
memperbesar resiko alergi, diare, obesitas serta mulut dan lidah bayi masih
dirancang untuk menghisap, bukan menelan makanan.
3)
Beri bayi ASI
sedikit-sedikit tetapi sering (minimal 2 jam sekali), jangan langsung banyak.
4)
Jangan
memakaikan gurita tertalu ketat.
5)
Posisikan
bayi tegak beberapa lama (15-30 menit) setelah menyusu
6)
Tinggikan
posisi kepala dan dada bayi saat tidur.
7)
Jangan mengajak bayi banyak bergerak sesaat
setelah menyusu.
8)
Jika gumoh di
sebabkan oleh kelainan atau cacat bawaan segera bawa ke petugas medis agar
mendapat penanganan yang tepat sedini mungkin.
9)
Apabila
menggunakan botol, perbaiki cara minumnya. Posisi botol susu diatur sedemikian
rupa sehingga susu menutupi seluruh permukaan botol dan dot harus masuk
seluruhnya ke dalam mulut bayi.
10)
Sendawakan
bayi sesaat setelah minum. Bayi yang selesai minum jangan langsung ditidurkan,
tetapi perlu disendawakan dahulu terlebih dahulu. Sendawa dapat dilakukan
dengan cara:
11)
Bayi
digendong agak tinggi (posisi berdiri) dengan kepala bersandar dipundak ibu. Kemudian,
punggung bayi ditepuk perlahan-lahan sampai terdengar suara bersendawa.
12)
Menelungkupkan
bayi di pangkuan ibu, lalu usap/tepuk
punggung bayi sampai terdengar suara bersendawa.
F.
PENATALAKSANAAN
1) Bersikaplah tenang.
2) Segera miringkan badan
bayi agar cairan tidak masuk ke paru-paru (jangan mengangkat bayi yang sedang
gumoh, karena beresiko cairan masuk ke paru-paru).
3) Bersihkan segera sisa gumoh dengan tissue atau lap
basah hingga bersih, pastikan lipatan leher bersih agar tidak menjadi sarang kuman dan jamur.
4) Jika gumoh keluar lewat hidung, cukup bersihkan
dengan cotton bud, jangan menyedot dengan mulut karena akan menyakiti bayi dan
rentan menularkan virus.
5) Tunggu beberapa saat jika ingin memberi ASI lagi.
G.
ASUHAN
BIDAN
1) Memberitahukan bahwa gumoh
adalah hal yang harus mendapat
perawatan yang baik.
2)
Menginformasikan
pada ibu bahwa gumoh disebabkan posisi saat menyusui yang tidak tepat atau posisi botol yang
salah
3)
Memberitahu
ibu untuk memperbaiki cara minumnya, posisi saat memberikan susu dari botol dan
sendawakan bayi sesaat setelah minum ASI.
5.
ETIOLOGI
MUNTAH
Pembahasan etiologi muntah pada bayi dan anak
berdasarkan usia adalah sebagai berikut :
1. Usia 0 – 2 Bulan :
a)
Kolitis Alergika
Alergi terhadap susu sapi atau susu formula berbahan
dasar kedelai. Biasanya diikuti dengan diare, perdarahan rektum, dan rewel.
b)
Kelainan anatomis dari saluran
gastrointestinal
Kelainan kongenital, termasuk stenosis atau atresia.
Manifestasinya berupa intoleransi terhadap makanan pada beberapa hari pertama
kehidupan.
c)
Refluks Esofageal
Regurgitasi yang sering terjadi segera setelah
pemberian susu. Sangat sering terjadi pada neonatus; secara klinis penting bila
keadaan ini menyebabkan gagal tumbuh kembang, apneu, atau bronkospasme.
d)
Peningkatan tekanan
intrakranial
Rewel atau letargi disertai dengan distensi abdomen,
trauma lahir dan shaken baby syndrome.
e)
Malrotasi dengan volvulus
80% dari kasus ini ditemukan pada bulan pertama kehidupan, kebanyakan disertai emesis
biliaris.
f)
Ileus mekonium
Inspissated meconium pada kolon distal; dapat
dipikirkan diagnosis cystic fibrosis.
g)
Necrotizing Enterocolitis
Sering terjadi khususnya pada bayi prematur terutama
jika mengalami hipoksia saat lahir. Dapat disertai dengan iritabilitas atau
rewel, distensi abdomen dan hematokezia.
h)
Overfeeding
Regurgitasi dari susu yang tidak dapat dicerna,
wet-burps sering pada bayi dengan kelebihan berat badan yang diberi air susu
secara berlebihan.
i)
Stenosis pylorus
Puncaknya pada usia 3-6 minggu kehidupan. Rasio
laki-laki banding wanita adalah 5:1 dan keadaan ini sering terjadi pada anak
laki-laki pertama. Manifestasi klinisnya secara progresif akan semakin
memburuk, proyektil, dan emesis nonbiliaris.
2. Usia 2 bulan-5 tahun.
a)
Tumor otak
Pikirkan terutama jika ditemukan sakit kepala yang
progresif, muntah-muntah, ataksia, dan tanpa nyeri perut.
b)
Ketoasidosis diabetikum
Dehidrasi sedang hingga berat, riwayat polidipsi,
poliuri dan polifagi.
c)
Korpus alienum
Dihubungkan dengan kejadian tersedak berulang, batuk
terjadi tiba-tiba atau air liur yang menetes.
d)
Gastroenteritis
Sangat sering terjadi; sering adanya riwayat kontak
dengan orang yang sakit, biasanya diikuti oleh diare dan demam.
e)
Trauma kepala
Muntah sering atau progresif menandakan konkusi atau perdarahan
intrakranial.
f)
Hernia inkarserasi
Onset dari menangis, anoreksia dan pembengkakan
skrotum yang terjadi tiba-tiba.
g)
Intussusepsi
Puncaknya terjadi pada bulan ke 6-18 kehidupan; pasien
jarang mengalami diare atau demam dibandingkan dengan anak yang mengidap
gastroenteritis.
h)
Posttusive
Seringkali, anak-anak akan muntah setelah batuk
berulang atau batuk yang dipaksakan.
i)
Pielonefritis
Demam tinggi, tampak sakit, disuria atau polakisuria.
Pasien mungkin mempunyai riwayat infeksi traktus urinarius sebelumnya
3. Usia 6 tahun ke atas.
a)
Adhesi
Terutama setelah operasi abdominal atau peritonitis.
b)
Appendisitis
Manifestasi klinis dan lokasi nyeri bervariasi.
Gejala sering terjadi termasuk nyeri yang semakin meningkat, menjalar ke
kuadran kanan bawah, muntah didahului oleh nyeri, anoreksia, demam subfebril,
dan konstipasi.
c)
Kolesistitis
Lebih sering terjadi pada perempuan, terutama dengan
penyakit hemolitik (contohnya, anemia sel sabit). Ditandai dengan nyeri
epigastrium atau kuadran kanan atas yang terjadi secara tiba-tiba setelah
makan.
d)
Hepatitis
Terutama disebabkan oleh infeksi virus atau akibat
obat; pasien mungkin mempunyai riwayat buang air besar berwarna seperti dempul
atau urin berwarna seperti teh pekat.
e)
Inflammatory bowel disease
Berkaitan dengan diare, hematokezia, dan nyeri perut.
Striktura bisa menyebabkan terjadinya obstruksi.
f)
Intoksikasi
Lebih sering terjadi pada anak yang sedang belajar
berjalan dan remaja. Dicurigai jika mempunyai riwayat depresi. Bisa juga
disertai oleh gangguan status mental.
g)
Migrain
Nyeri kepala yang berat; sering terdapatnya aura
sebelum serangan seperti skotoma. Pasien mungkin mempunyai riwayat nyeri kepala
kronis atau riwayat keluarga dengan migrain.
h)
Pankreatitis
Faktor resiko termasuk trauma perut bagian atas, riwayat
infeksi sebelumnya atau sedang infeksi, penggunaan kortikosteroid, alkohol dan
kolelitiasis.
i)
Ulkus peptikum
Pada remaja, ratio wanita:pria = 4:1. Nyeri
epigastrium kronik atau berulang, sering memburuk pada waktu malam.
6.
PATOFISIOLOGI
VOMITING
Kemampuan untuk memuntahkan merupakan suatu keuntungan
karena memungkinkan pengeluaran toksin dari lambung. Muntah terjadi bila
terdapat rangsangan pada pusat muntah yang berasal dari, gastrointestinal,
vestibulo okular, aferen kortikal yang lebih tinggi, menuju CVC kemudian
dimulai nausea, retching, ekpulsi isi lambung.
Ada 2 regio anatomi di medulla yang mengontrol muntah:
1) chemoreceptor trigger zone (CTZ)
2) central vomiting centre (CVC)
CTZ terletak di area postrema pada dasar ujung caudal
ventrikel IV di luar blood brain barrier (sawar otak). Koordinasi pusat muntah
dapat dirangsang melalui berbagai jaras. Muntah dapat terjadi karena tekanan
psikologis melalui jaras yang kortek serebri dan sistem limbik menuju pusat
muntah (CVC) dan jika pusat muntah terangsang melalui vestibular atau sistim
vestibuloserebelum dari labirin di dalam telinga. Rangsangan bahan kimia
melalui darah atau cairan otak (LCS ) akan terdeteksi oleh CTZ. Mekanisme ini
menjadi target dari banyak obat anti emetik.
Nervus vagus dan visera merupakan jaras keempat yang
menstimulasi muntah melalui iritasi saluran cerna dan pengosongan lambung yang
lambat. Sekali pusat muntah terangsang maka cascade ini akan berjalan dan akan
menyebabkan timbulnya muntah. Pencegahan muntah mungkin dapat melalui mekanisme
ini.
Stimulasi terhadap pusat muntah :
1.
Stimulasi pada reseptor
suprameduler
a)
Muntah psikogenik
b)
Peningkatan tekanan
intrakranial (efusi subdural atau hematoma,
edema otak, atau tumor,
hidrosefalus, meningoensefalitis, sindroma
Reye)
c)
Valvulus (migrain,
hipertensi)
d)
Kejang
e)
Penyakit vestibuler,
‘motion sick’
2.
Stimulasi pada ‘Chemoreceptor
Trigger Zone’
a)
Obat-obatan : opiat, ipecac,
digoksin, antikonvulsan
b)
Toksin
c)
Produk metabolisme :
Ø Asidemia, ketonemia, (diabetik ketoasidosis, lactic asidosis,
fenilketonuria, renal tubular asidosis)
Ø Aminoasidemia (tirosinemia, hipervalinemia, lisinuria, ‘maple syrup
urine’)
Ø Asidemia organis (asidemia metilmalonik, asidemia propionik,
asidemia isovalerik)
Ø Hiperamonemia (sindroma Reye, defek siklus urea)
Ø Lain-lain (intoleransi fruktosa herediter, galaktosemia, kelainan
oksidasi asam lemak, diabetes insipidus, insufisiensi adrenal, hiperkalsemia,
hipervitaminosis A)
3.
Stimulasi pada reseptor perifer
gastrointestinalis atau obstruksi traktus gastrointestinalis atau keduanya
a)Faringeal : refleks menelan (sekret sinusitis, ‘self induced
rumination’)
b)
Esofageal
·
Fungsional : refluks, akhalasia, lain-lain, dismotilitas
esofageal
·
Struktural : striktura, cincin, atresia dll.
c)
Gastrik
·
Ulkus peptikum, infeksi,
dismotolitas/gastroparesis
·
Obstruksi (benzoar, stenosis
piloris, penyakit granulomatosus kronik)
Pada manusia muntah terdiri
dari 3 aktivitas yang terkait :
1.
Nausea (mual)
2.
Retching dan
3.
Pengeluaran isi lambung.
CTZ mengandung reseptor untuk bermacam-macam sinyal neuroaktif yang menyebabkan
muntah. Reseptor di CTZ diaktivasi oleh bahan-bahan proemetik di dalam
sirkulasi darah atau di cairan serebrospinal (CSF). Reseptor untuk dopamin
titik tangkap kerja dari apomorfin, asetilkolin, vasopresin, enkefalin,
angiotensin, insulin, endorfin, substansi P, dan mediator-mediator lain
Stimulator oleh teofilin dapat menghambat aktivitas proemetik dari bahan
neuropeptik tersebut.
Eferen dari CTZ dikirim ke CVC, selanjutnya terjadi
serangkaian kejadian yang dimulai melalui spangnik vagus eferen. CVC terletak
di traktus nukleus solitarius dan di sekitar formasio retikularis medula tepat
di bawah CTZ.
Muntah sebagai respons terhadap iritasi
gastrointestinal, radiasi abdomen, dilatasi gastrointestinal adalah kerja dari
signal aferen nervus vagus ke pusat muntah yang dipicu oleh pelepasan lokal
mediator inflamasi dari mukosa yang rusak, dengan pelepasan sekunder
neurotransmiter. Eksitasi paling penting adalah serotonin dari sel
enterokromafin mukosa. Pada motion sickness diketahui bahwa gerakan perubahan
arah tubuh yang cepat menyebabkan orang tertentu muntah, signal aferen ke pusat
muntah berasal dari reseptor di labirin dan impuls ditransmisikan terutama
melalui inti vestibular ke dalam serebelum, kemudian ke zona pencetus
kemoreseptor, dan akhirnya ke pusat muntah.
Berbagai rangsangan psikis, termasuk gambaran yang
memuakkan, dan faktor psikologi lain dapat menyebabkan muntah melalui jaras
kortek serebri dan sistem limbik menuju pusat muntah. Selain itu, gejala
gastrointestinal meliputi peristaltik, salivasi, takipnea, takikardi.
Terdapat tiga fase muntah, yaitu fase prodromal (fase pre-ejeksi),
fase ejeksi dengan retching dan muntah dan fase post ejeksi.
1. Fase pre-ejeksi
Fase ini biasanya berlangsung sebentar, ditandai
dengan mual dan dihubungkan dengan peningkatan kadar vasopressin plasma (ADH),
kadang-kadang kenaikan ini melebihi tingkat vasopressin yang dibutuhkan dalam
kerjanya sebagai antidiuretik dan mengganggu aktifitas mioelektrisitas di
antrum gaster sehingga terjadi takigastria. Awal dari retching menyebabkan
kontraksi retrograde yang kuat dimulai dari usus halus bagian bawah membawa isi
dari usus halus kembali ke lambung. Pada tahap awal dari iritasi
gastrointestinal atau distensi yang berlebihan, antiperistaltis mulai terjadi,
sering beberapa menit sebelum muntah terjadi. Antiperistaltis dapat dimulai
sampai sejauh ileum di traktus intestinal, dan gelombang antiperistaltik
bergerak mundur, naik ke usus halus dengan kecepatan 2-3cm/detik; proses ini
dapat mendorong sebagian isi usus kembali ke duodenum, menjadi sangat meregang.
Peregangan ini menjadi faktor pencetus yang menimbulkan tindakan muntah yang
sebenarnya. Sistem saraf otonom teraktivasi sehingga terjadi takikardi,
vasokonstriksi dan berkeringat dingin. Sistem saraf vagus membuat traktus
intestinal bagian atas menjadi relaksasi dan memicu salivasi.
2. Fase ejeksi
Retching biasanya mendahului muntah. Fungsi dari
retching masih belum diketahui. Muntah merupakan gabungan dari kontraksi ritmik
yang terkoordinasi dari diafragma, otot-otot interkostalis eksterna dan otot
abdomen memeras lambung dan mengeluarkan isi lambung.
Pada saat
muntah, kontraksi intrinsik kuat terjadi baik pada duodenum maupun lambung,
bersama dengan relaksasi sebagian dari sfingter esophagus bagian bawah, sehingga
membuat muntahan mulai bergerak ke dalam esophagus. Setelah itu terjadi kerja
muntah spesifik yang melibatkan otot-otot abdomen mengambil alih dan mendorong
muntahan ke luar.
Sekali pusat muntah telah cukup dirangsang dan timbul
perilaku muntah, efek yang pertama adalah :
1.
Bernafas dalam
2.
Naiknya tulang lidah dan faring
untuk menarik sfingter esofagus bagian atas supaya terbuka
3.
Penutupan glotis
4.
Pengangkatan palatum mole untuk
menutupi nares posterior.
Kemudian datang kontraksi yang kuat ke bawah diafragma bersama
dengan rangsangan kontraksi semua otot dinding abdomen. Keadaan ini memeras
perut di antara diafragma dan otot-otot abdomen, membentuk suatu tekanan
intragastrik sampai ke batas yang tinggi. Akhirnya sfingter esophagus bagian
bawah berelaksasi secara lengkap, membuat pengeluaran isi lambung ke atas
melalui esophagus. Jadi kerja muntah berasal dari suatu kerja memeras otot-otot
abdomen bersama dengan pembukaan sfingter esophagus secara tiba-tiba sehingga
isi lambung dapat dikeluarkan.
3. Fase Post-ejeksi
Fase post ejeksi belum seluruhnya dimengerti,
bagaimana fungsi normal tubuh kembali lagi sepenuhnya setelah mengalami muntah
dan kapan muntah pertama akan diikuti muntah lainnya lagi.
7.
KOMPLIKASI
a)
Komplikasi metabolik
Dehidrasi, alkalosis metabolik, gangguan elektrolit
dan asam basa, deplesi kalium, natrium. Dehidrasi terjadi sebagai akibat dari
hilangnya cairan lewat muntah atau masukan yang kurang oleh karena selalu
muntah. Alkalosis sebagai akibat dari hilangnya asam lambung, hal ini diperberat
oleh masuknya ion hidrogen ke dalam sel karena defisiensi kalium dan
berkurangnya natrium ekstraseluler. Kalium dapat hilang bersama bahan muntahan
dan keluar lewat ginjal bersama-sama bikarbonat. Natrium dapat hilang lewat
muntah dan urine. Pada keadaan alkalosis yang berat, pH urine dapat 7 atau 8,
kadar natrium dan kalium urine tinggi walaupun terjadi deplesi Natrium dan
Kalium
Kurangnya asupan air yang dibutuhkan tubuh dapat
menyebabkan dehidrasi. Dehidarasi sedang (hilangnya 1-2% dari berat badan)
dapat menurunkan energi dan membuat lelah. Penyebab umum yang dapat menimbulkan
dehidrasi adalah aktifitas yang banyak, keringat yang berlebih, muntah dan
diare.
Tanda dan gejala dari dehidrasi termasuk:
• Rasa haus
• Lelah
• Sakit kepala
• Mulut kering
• Tidak atau kurang urinasi
• Lemah otot
• Pusing
• Kepala terasa ringan
Dehidrasi sedang jarang menimbulkan komplikasi selama
cairan yang hilang cepat digantikan. Kasus lainnya dapat mengancam jiwa,
terutama pada individu yang masih sangat muda atau sudah tua. Pada keadaan yang
gawat, cairan atau elektrolit dapat diberikan secara intravena. Tidak baik
untuk menjadikan rasa haus sebagai indikator untuk minum. Saat terasa haus,
kemungkinan telah terjadi dehiddrasi. Lebih jauh lagi, saat usia bertambah,
maka tubuh akan lebih tidak sensitif terhadap tanda dehidrasi. Rasa haus yang
berlebihan serta bertambahnya urinasi dapat menjadi tanda kondisi medis yang
serius oleh sebab itu bicarakan lebih lanjut dengan dokter.
Untuk memastikan bahwa kebutuhan air tubuh telah
terpenuhi, maka perlu dipertimbangkan langkah berikut:
• Minum segelas air saat makan dan antara waktu
makan.
• Minum sebelum, selama dan setelah olah raga.
• Ganti minuman beralkohol
Bila anda minum air dari botol, pastikan bahwa botol
selalu bersih dan ganti botol lebih sering. Gunakan botol yang memang dibuat
untuk digunakan lagi. Meski tidak umum,
sangat mungkin untuk minum terlalu banyak. Bila ginjal tidak mampu
mengekskresikan kelebihan air, mineral dalam darah menjadi terencerkan,
sehingga menghasilkan suatu kondisi yang disebut hiponatremia (rendahnya kadar
natrium dalam darah).
Tata laksana diare akut dehidrasi
ringan sedang, WHO memilih cairan rehidrasi oral (CRO) yang dikenal dengan
Oralit. Namun, formula ini masih mempunyai kekurangan. Pada tanggal 27 Maret
2002 WHO merekomendasikan CRO osmolaritas rendah (total osmolaritas 245 mOsm/L)
menggantikan Oralit (total osmolaritas 311 mOsm/L). Lama penyembuhan lebih
cepat pada pemakaian CRO osmolaritas rendah dibandingkan oralit. Kejadian
hiponatremi lebih banyak pada pemakaian CRO osmolaritas rendah walaupun secara
statistik tidak didapatkan perbedaan. (Sari Pediatri 2008; 9 (5) : 304 – 8)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar