1.
EFEK
EKSTRAPIRAMIDAL SYNDROME
a)
Definisi
Sindrom ekstrapiramidal merupakan suatu gejala
atau reaksi yang ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau jangka panjang
dari medikasi antipsikotik golongan tipikal dikarenakan terjadinya inhibisi
transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Adanya
gangguan transmisi di korpus striatum yan mengandung banyak reseptor D1 dan D2
dopamin menyebabkan depresi fungsi motorik sehingga bermanifestasi sebagai
sindrom ekstrapiramidal.
b) Sistem ekstrapiramidal
Sistem
ekstrapiramidal merupakan jaringan syaraf yang terdapat pada otak bagian sistem
motorik yang mempengaruhi koordinasi dari gerakan. Letak dari ekstrapimidal
adalah terutama di formatio retikularis dari pons dan medulla, dan di target
saraf di medulla spinalis yang mengatur refleks, gerakan-gerakan yang kompleks,
dan kontrol postur tubuh. Terapi antipsikotik dapat memberikan efek samping pengobatan,
utamanya penggunaan dalam jangka waktu yang panjang. Antipsikotik golongan
tipikal yang memiliki potensial tinggi dan pemberian dalam dosis tinggi paling
sering memberikan efek samping pada pasien karena memiliki afinitas yng kuat
pada reseptor muskarinik. Pendekatan farmakologi pada manifestasi psikosis ini
terpusat pada neurotransmitter yang mengontrol respon neuron-neuron terhadap
rangsangan.
Sindrom ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu
gejala atau reaksi yang ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang
dari medikasi antipsikotik golongan tipikal. Obat
antipsikotik tipikal yang paling sering memberikan efek samping gejala
ekstrapiramidal yakni Haloperidol, Trifluoperazine, Pherpenazine, Fluphenazine,
dan dapat pula oleh Chlorpromazine. Gejala bermanifestasikan sebagai gerakan
otot skelet, spasme atau rigiditas, tetapi gejala-gejala tersebut di luar
kendali traktus kortikospinal (piramidal).
c) Susunan Piramidal dan Ekstrapiramidal Susunan Piramidal
Semua
neuron yang menyalurkan impuls motorik secara langsung ke LMN atau melalui
interneuronnya, tergolong dalam kelompok UMN. Neuron-neuron tersebut merupakan
penghuni girus presentralis . Oleh karena itu, maka girus tersebut dinamakan
korteks motorik. Mereka berada dilapisan ke-V dan masing-masing memiliki
hubungan dengan gerak otok tertentu. Melalui aksonnya neuron korteks motorik
menghubungi motoneuron yang membentuk inti motorik sarafkranial dan motoneuron
dikornu anterius medulaspinalis. Akson-akson tersebut menyusun jaras
kortikobulbar dan kortikospinal. Sebagai berkas saraf yang kompak mereka turun
dari korteks motorik dan ditingkat thalamus dan ganglia basalia mereka terdapat
diantara kedua bangunan yang dikenal sebagai kapsula interna. Sepanjang batang
otak, serabut-serabut kortikobulbar meninggalkan kawasan mereka untuk menyilang
garis tengah dan berakhir secara langsung dimotoneuron sarafkranial motorik
atau interneuronnya disisi kontralateral. Sebagian dari serabut kortikobulbar
berakhir di inti-inti saraf kranial motorik sisi ipsilateral juga. Diperbatasan
antara medulla oblongata dan medulla spinalis, serabut-serabut kortikospinal
sebagian besar menyilang dan membentuk jaras kortikospinal lateral yang
berjalan di funikulus posterolateral kontralateralis. Sebagian dari mereka
tidak menyilang tapi melanjutkan perjalanan ke medula spinalis di funikulus
ventralis ipsilateralis dan dikenal sebagai jaras kortikospinal ventral atau
traktus piramidalis ventralis
d) Epidemiologi
Sindrom
ekstrapiramidal yang terdiri dari reaksi distonia akut, akhatisia, dan sindrom
parkinsonism umumnya terjadi akibat penggunaan obat-obat antipsikotik. Lebih
banyak diakibatkan oleh antipsikotik tipikal terutama yang mempunyai potensi
tinggi. Reaksi distonia akut terjadi pada kira-kira 10 % pasien, biasanya pada
pria muda. Tardive dyskinesia berupa gerakan involunter otot seperti mulut,
rahang, umumnya terjadi akibat penggunaan antipsikotik golongan tipikal jangka
panjang. Sekitar 20 – 30% pasien telah menggunakan antipsikotik tipikal dalam kurun waktu
6 bulan atau lebih, berkembang menjadi tardive dyskinesia. Sindrom parkinson
umumnya timbul 1-3 minggu setelah pengobatan awal, lebih sering pada dewasa
muda, dengan perbandingan perempuan : laki-laki = 2:1
e)
Etiologi
Sindrom
ekstrapiramidal terjadi akibat pemberian obat antipsikotik yang menyebabkan
adanya gangguan keseimbangan antara transmisi asetilkolin dan dopamine pusat.
Obat antispikotik dengan efek samping gejala ekstrapiramidalnya sebagai
berikut:
Tabel 1. Obat-Obat Antipsikotik dan Efek Samping
Gejala Ekstrapiramidalnya Antipsikosis Dosis (mg/hr) Gej. Ekstrapiramidal
Chlorpromazine 150 – 1600 ++
Thioridazine 100 – 900 +
Perphenazine 8 – 48 +++
Trifluoperazine 560 +++
Chlorpromazine 150 – 1600 ++
Thioridazine 100 – 900 +
Perphenazine 8 – 48 +++
Trifluoperazine 560 +++
Fluphenazine 5 – 60 +++
Haloperidol 2 – 100 ++++
Pimozide 2 – 6 ++
Clozapine 25 – 100 –
Zotepine 75 – 100 +
Sulpride 200 – 1600 +
Risperidon 2 – 9 +
Quetapine 50 – 400 +
Olanzapine 10 – 20 +
Aripiprazole 10 – 20 +
Quetapine 50 – 400 +
Olanzapine 10 – 20 +
Aripiprazole 10 – 20 +
f)
Patofisiologi
Susunan Piramidal
Semua
neuron yang menyalurkan impuls motorik secara langsung ke lower motor neuron
(LMN) atau melalui interneuronnya, tergolong dalam kelompok upper motor neuron
(UMN). Neuron-neuron tersebut merupakan penghuni girus presentralis . Oleh
karena itu, maka girus tersebut dinamakan korteks motorik. Mereka berada
dilapisan ke-V dan masing-masing memiliki hubungan dengan gerak otok tertentu.
Melalui aksonnya neuron korteks motorik menghubungi motoneuron yang membentuk
inti motorik saraf kranial dan motoneuron dikornu anterius medulaspinalis.
Akson-akson tersebut menyusun
jaras kortikobulbar dan kortikospinal. Sebagai berkas saraf yang kompak mereka
turun dari korteks motorik dan ditingkat thalamus dan ganglia basalia mereka
terdapat diantara kedua bangunan yang dikenal sebagai kapsula interna. Sepanjang
batang otak, serabut-serabut kortikobulbar meninggalkan kawasan mereka untuk
menyilang garis tengah dan berakhir secara langsung di motorneuron saraf
kranial motorik atau interneuronnya disisi kontralateral. Sebagian dari serabut
kortikobulbar berakhir di inti-inti saraf kranial motorik sisi ipsilateral
juga.
Diperbatasan
antara medulla oblongata dan medulla spinalis, serabut-serabut kortikospinal
sebagian besar menyilang dan membentuk jaras kortikospinal lateral yang
berjalan di funikulus posterolateral kontralateralis. Sebagian dari mereka
tidak menyilang tapi melanjutkan perjalanan ke medula spinalis di funikulus
ventralis ipsilateralis dan dikenal sebagai jaras kortikospinal ventral atau
traktus piramidalis ventralis.
Susunan
Ekstrapiramidal
Susunan
ekstrapiramidal terdiri atas korpus striatum, globus palidus, inti-inti
talamik, nukleus subtalamikus, subtansia nigra, formatio retikularis batang
otak,serebelum berikut dengan korteks motorik tambahan, yaitu area 4, area 6
dan area 8. komponen-komponen tersebut dihubungkan satu dengan yang lain oleh
akson masing-masing komponen itu. Dengan demikian terdapat lintasan yang
melingkar yang dikenal sebagai sirkuit. Oleh karena korpus striatum merupakan
penerima tunggal dari serabut-serabut segenap neokorteks, maka lintasan sirkuit
tersebut dinamakan sirkuit striatal yang terdiri dari sirkuit striatal utama
(principal) dan 3 sirkuit striatal penunjang (aksesori). Sirkuit striatal prinsipal tersusun dari tiga mata rantai, yaitu (a)
hubungan segenap neokorteks dengan korpus striatum serta globus palidus, (b)
hubungan korpus striatum/globus palidus dengan thalamus dan (c) hubungan
thalamus dengan korteks area 4 dan 6. Data yang tiba diseluruh neokorteks
seolah-olah diserahkan kepada korpus striatum/globus paidus/thalamus untuk
diproses dan hasil pengolahan itu merupakan bahan feedback bagi korteks motorik
dan korteks motorik tambahan. Oleh karena komponen-komponen susunan
ekstrapiramidal lainnya menyusun sirkuit yang pada hakekatnya mengumpani
sirkuit striata utama, maka sirkuit-sirkuit itu disebut sirkuit striatal
asesorik.
Sirkuit striatal asesorik
ke-1 merupakan sirkuit yang menghubungkan stratum-globus
palidus-talamus-striatum. Sirkuit-striatal asesorik ke-2 adalah lintasan yang
melingkari globus palidus-korpus subtalamikum-globus palidus. Dan akhirnya
sirkuit asesorik ke-3, yang dibentuk oleh hubungan yang melingkari
striatum-subtansia nigra-striatum. Umumnya semua neuroleptik menyebabkan beberapa
derajat disfungsi ekstrapiramidal dikarenakan inhibisi transmisi dopaminergik
di ganglia basalis. Pada pasien skizofrenia dan pasien dengan gangguan psikotik
lainnya terjadi disfungsi pada sitem dopamin sehingga antipsikotik tipikal
berfungsi untuk menghambat transmisi dopamin di jaras ekstrapiramidal dengan
berperan sebagai inhibisi dopaminergi yakni antagonis reseptor D2 dopamin.
Namun penggunaan zat-zat tersebut menyebabkan gangguan transmisi di korpus
striatum yang mengandung banyak reseptor D1 dan D2 dopamin. Gangguan jalur
striatonigral dopamin menyebabkan depresi fungsi motorik sehingga
bermanifestasi sebagai sindrom ekstrapiramidal. Beberapa neuroleptik tipikal
(seperti haloperidol, fluphenazine) merupakan inhibitor dopamin ganglia basalis
yang lebih poten, dab sebagai akibatnya menyebabka efek samping gejala
ekstrapiramidal yang lebih menonjol.
g)
Gejala Klinis
Gejala
ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi distonia,
tardive dyskinesia, akatisia, dan Sindrom Parkinson.2
Reaksi Distonia
Merupakan
spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot skelet yang timbul
beberapa meni dan dapat pula berlangsung lama, biasanya menyebabkan gerakan
atau postur yang abnormal. Kelompok otot yang paling sering terlibat adalah
otot wajah, leher, lidah atau otot ekstraokuler, bermanifestasi sebagai
tortikolis, disastria bicara, krisis okulogirik dan sikap badan yang tidak
biasa hingga opistotonus (melibatkan seluruh otot tubuh). Hal ini akan
menggangu pasien, dapat menimbulkan nyeri hingga mengancam nyawa seperti
distonia laring atau diafragmatik. Reaksi distonia akut sering terjadi dalam
satu atau dua hari setelah pengobatan dimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja.
Distonia lebih banyak diakibatkan oleh psikotik tipikal terutama yang mempunyai
potensi tinggi dan dosis tinggi seperti haloperidol, trifluoroperazin dan
fluphenazine. Terjadi pada kira-kira 10% pasien, lebih lazim pada pria muda.
Otot-otot yang sering
mengalami spasme adalah otot leher (torticolis dan retrocolis), otot rahang
(trismus, gaping, grimacing), lidah (protrusionI, memuntir) atau spasme pada
seluruh otot tubuh (opistotonus). Pada mata terjadi krisis okulogirik. Distonia
glosofaringeal yang menyebabkan disartri, disfagia, kesulitan bernafas hingga
sianosis bahkan kematian. Spasme otot dan postur yang abnormal, umumnya yang
dipengaruhi adalah otot-otot di daerah kepala dan leher tetapi terkadang juga
daerah batang tubuh dan ekstremitas bawah.2
Kriteria diagnostik dan riset untuk distonia akut
akibat neuroleptik menurut DSM-IV adalah posisi abnormal atau spasme otot
kepala, leher, anggota gerak, atau batang tubuh yang berkembang dalam beberapa
hari setelah memulai atau menaikkan dosis medikasi neuroleptik (atau setelah
menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati gejala ekstrapiramidal).
Posisi Abnormal pada Pasien yang Mengalami Distonia
a.
Satu (atau lebih) tanda atau
gejala berikut yang berkembang berhubungan dengan medikasi neuroleptik :
1.
Posisi abnormal kepala dan
leher dalam hubungannya
dengan tubuh (misalnya
tortikolis)
2.
Spasme otot rahang
(trismus, menganga, seringai)
3.
Gangguan menelan (disfagia),
bicara, atau bernafas
(spasme laring – faring, disfonia)
4.
Penebalan atau bicara cadel
karena lidah hipertonik atau
membesar (disartria, makroglosia)
5.
Penonjolan lidah atau disfungsi
lidah
6.
Mata deviasi ke atas, ke bawah,
ke arah samping (krisis
okulorigik)
7.
Posisi abnormal anggota gerak
distal atau batang tubuh.
b. Tanda atau gejala dalam kriteria A berkembang
dalam tujuh hari setelah memulai atau dengan cepat menaikkan dosis medikasi
neuroleptik, atau menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati (atau
mencegah) gejala ekstrapiramidal akut (misalnya obat antikolinergik).
c. Gejala dalam kriteria A tidak diterangkan lebih baik oleh gangguan
mental (misalnya gejala katatonik pada skizofrenia). Tanda-tanda bahwa gejala
lebih baik diterangkan oleh gangguan mental dapat berupa berikut : gejala
mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik atau tidak sesuai dengan pola
intervensi farmakologis (misalnya tidak ada perbaikan setelah menurunkan
neuroleptik atau pemberian antikolinergik).
d. Gejala dalam kriteria A bukan karena zat nonneuroleptik atau kondisi
neurologis atau medis umum. Tanda-tanda bahwa gejala adalah karena kondisi
medis umum dapat berupa berikut : gejala mendahului pemaparan dengan medikasi
neuroleptik, terdapat tanda neurologis fokal yang tidak dapat diterangkan, atau
gejala berkembang tanpa adanya perubahan medikasi.
§ Akatisia
Manifestasi
berupa keadaan gelisah, gugup atau suatu keinginan untuk tetap bergerak, atau
rasa gatal pada otot. Manifestasi klinis berupa perasaan subjektif kegelisahan
(restlessness) yang panjang, dengan gerakan yang gelisah, umumnya kaki yang
tidak bisa tenang. Penderita dengan akatisia berat tidak mampu untuk duduk
tenang, perasaannya menjadi cemas atau iritabel. Akatisia sering sulit dinilai
dan sering salah diagnosis dengan anxietas atau agitasi dari pasien psikotik,
yang disebabkan dosis antipsikotik yang kurang. Pasien dapat mengeluh karena
anxietas atau kesukaran tidur yang dapat disalah tafsirkan sebagai gejala
psikotik yang memburuk. Sebaliknya, akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi
gejala psikotik yang memburuk. Sebaliknya akatisia dapat menyebabkan
eksaserbasi gejala psikotik akibat perasaan tidak nyaman yang ekstrim. Agitasi,
pemacuan yang nyata, atau manifesatsi fisik lain dari akatisia hanya dapat
ditemukan pada kasus yang berat.
§ Sindrom Parkinson
Faktor
risiko antipsikotik menginduksi parkinsonism adalah peningkatan usia, dosis
obat, riwayat parkinsonism sebelumnya, dan kerusakan ganglia basalis.
Terdiri
dari akinesia, tremor, dan bradikinesia. Akinesia meliputi wajah topeng, jedaan
dari gerakan spontan, penurunan ayunan lengan saat berjalan, penurunan kedipan,
dan penurunan mengunyah yang dapat menimbulkan pengeluaran air liur. Pada suatu
bentuk yang lebih ringan, akinesia hanya terbukti sebagai suatu status perilaku
dengan jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan kesukaran untuk memulai
aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala skizofrenia
negatif. Tremor dapat ditemukan pada saat istirahat dan dapat pula mengenai
rahang. Gaya berjalan dengan langkah kecil dan menyeret kaki diakibatkan karena
kekakuan otot.
§ Tardive Dyskinesia
Disebabkan
oleh defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif reseptor dopamin
di puntamen kaudatus. Merupakan manifestasi gerakan otot abnormal, involunter,
menghentak, balistik, atau seperti tik mempengaruhi gaya berjalan, berbicara,
bernafas, dan makan pasien dan kadang mengganggu. Faktor predisposisi dapat
meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan pengobatan berdosis tinggi atau
jangka panjang. Gejala hilang dengan tidur, dapat hilang timbul dengan
berjalannya waktu dan umumnya memburuk dengan penarikan neuroleptik. Diagnosis
banding jika dipertimbangkan diskinesia tardive meliputi penyakit Hutington,
Khorea Sindenham, diskinesia spontan, tik dan diskinesia yang ditimbulkan obat
seperti Levodova, stimulant, dan lain-lain.
Perlu
dicatat bahwa tardive diskinesia yang diduga disebabkan oleh
kesupersensitivitasan reseptor dopamin pasca sinaptik akibat blockade kronik
dapat ditemukan bersama dengan sindrom parkinson yang diduga disebabkan karena
aktifitas dopaminergik yang tidak mencukupi. Pengenalan awal perlu karena kasus
lanjut sulit diobati. Banyak terapi yang diajukan tetapi evaluasinya sulit
karena perjalanan penyakit sangat beragam dan kadang-kadang terbatas.
Diskinesia tardive dini atau ringan mudah terlewatkan dan beberapa merasa bahwa
evaluasi sistemik, Skala Gerakan Involunter Abnormal (AIMS) harus dicatat
setiap enam bulan untuk pasien yang mendapatkan pengobatan neuroleptik jangka
panjang.2
h) Penatalaksanaan
Penatalaksanaan umum untuk sindrom ekstrapiramidal
yakni dengan mulai menurunkan dosis antipsikotik, kemudian pasien diterapi
dengan antihistamin seperti difenhidramine, sulfas atropine atau antikolinergik
seperti trihexyphenidil ((THP), 4 – 6 mg per hari selama 4 – 6 minggu. Setelah itu dosis diturunkan secara perlahan-lahan, yaitu 2 mg
setiap minggu, untuk melihat apakah pasien telah mengembangkan suatu toleransi
terhadap efek samping sindrom ekstrapiramidal ini. Dosis antipsikotik
diturunkan hingga mencapai dosis minimal yang efektif. Antihistamin yang dapat digunakan
seperti difenhidramin pada pasien yang mengalami distonia. Selain itu epinefrin
dan norepinefrin juga memberikan efek menurunkan konsentrasi antipsikotik dalam
plasma sehingga absorbsi reseptor dopamin berkurang dan efek gejala
ekstrapiramidal dari antipsikotik dapat berkurang.
Gejala
ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga dianjurkan untuk memberikan
terapi profilaktik. Gejala ini penting terutama pada pasien dengan riwayat
pernah mengalami sindrom ekstrapiramidal sbelumnya atau pada pasien yang
mendapat neuroleptik poten dosis tinggi.
Umumnya
disarankan bahwa suatu usaha dilakukan setiap enam bulan untuk menarik medikasi
anti-ekstrapiramidal sindrom pasien dengan pengawasan seksama terhadap
kembalinya gejala. Pasien yang mengalami reaksi distonia akut harus segera ditangani.
Penghentian obat-obatan psikotik yang sangat dicurigai sebagai penyebab reaksi
harus dilakukan sesegera mungkin. Pemberian terapi antikolinergik merupakan
terapi primer yang diberikan. Bila reaksi distonia akut berat harus mendapatkan
penanganan cepat dan agresif. Umumnya lebih praktis untuk memberikan
difenhidramin 50 mg IM atau bila obat ini tidak tersedia gunakan benztropin 2
mg IM. Penatalaksanaan akatisia dengan memberikan anti kolinergik dan
amanditin, dan pemberian proanolol dan benzodiazepine seperti klonazepam dan
lorazepam.
Untuk sindrom parkinson
diberikan agen antikolinergik. Sementara untuk tardive dyskinesia ditangani
dengan pemakaian obat neuroleptik secara bijaksana untuk dosis medikasinya.
Levadopa yang dipakai untuk pengobatan penyakitan Parkinson idiopatik umumnya
untuk tidak efektif akibat efek sampingnya yang berat. Namun penggunaan
golongan Benzodiazepin dapat mengurangi gerakan involunter pada banyak pasien.
i)
Diagnosis Banding
Sindrom ekstrapiramidal dapat didiagnosis banding sebagai berikut:
1. Sindroma putus obat
2.
Parkinson disease
3.
Tetanus
4.
Gangguan gerak ekstrapiramidal
primer
5.
Distonia primer
6.
Pada pasien dengan tardive
diskinesia dapat pula didiagnosis banding meliputi penyakit Hutington, Khorea
Sindenham.
j)
Prognosis
Prognosis
pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang akut akan lebih baik bila gejala
langsung dikenali dan ditanggulangi. Sedangkan prognosis pada pasien dengan
sindrom ekstrapiramidal yang kronik lebih buruk, pasien dengan tardive distonia
hingga distonia laring dapat menyebabkan kematian bila tidak diatasi dengan
cepat. Sekali terkena, kondisi ini biasanya menetap pada pasien yang mendapat
pengobatan neuroleptik selama lebih dari 10 tahun.
k) Komplikasi
Gangguan
gerak yang dialami penderita akan sangat mengganggu sehingga menurunkan
kualitas penderita dalam beraktivitas dan gaangguan gerak saat berjalan dapat
menyebabkan penderita terjatuh dan mengalami fraktur. Pada distonia laring
dapat menyebabkan asfiksia dan kematian. Medikasi anti-EPS mempunyai efek
sampingnya sendiri yang dapat menyebabkan komplikasi yang buruk. Anti
kolinergik umumnya menyebabkan mulut kering, penglihatan kabur, gangguan
ingatan, konstipasi dan retensi urine. Amantadine dapat mengeksaserbasi gejala
psikotik.
l)
Kesimpulan
Sindrom
ekstrapiramidal merupakan kumpulan gejala yang dapat diakibatkan oleh
penggunaan antipsikotik. Antipsikotik yang menghambat transmisi dopamine di
jalur striatonigral juga memberikan inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia
basalis. Adanya gangguan transmisi di korpus striatum menyebabkan depresi
fungsi motorik. Umumnya terjadi pada pemakaian jangka panjang antipsikotik
tipikal dan penggunaan dosis tinggi.
Manifestasi
sindrom ini dapat berupa reaksi distonia, sindrom parkinsonisme, dan tardive
dyskinesia. Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga dianjurkan
memberikan terapi profilaktik. Sindrom ekstrapiramidal ditangani dengan mulai
menurunkan dosis antipsikotik, kemudian pasien diterapi dengan antihistamin dan
antikolinergik seperti trihexyphenidil (THP) dan difenhidrami. Bila reaksi
distonia akut berat harus mendapatkan penanganan cepat umumnya diberikan
Beztropin secara IV atau difenhidramin secara IM. Untuk akatisia diberikan
antikolinergik dan amantadin, dan pemberian proanolol dan benzodiazepine
seperti klonazepam dan lorazepam.
Pengenalan gejala dengan cepat dan
penatalaksanaan yang baik dapat memperbaiki prognosis. Namun penangan yang
terlambat dapat memberikan komplikasi mulai dari gejala yang irreversibel
hingga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar