Mengapa problem kelulusan dari produk pendidikan di negara kita tidak sesuai dengan
target pemerintah diantaranya kemandirian atau berdikari ? Langkah – langkah
apa yang harus diberikan kepada siswa agar mampu berdiri sendiri atau mandiri ?
Jawab :
Meskipun
pendidikan tidak berorientasi langsung pada pekerjaan, tetapi kebutuhan akan
penyelarasan antara dunia pendidikan dan dunia kerja dewasa ini menjadi sangat
penting. Fenomena urgennya penyelarasan ini tidak terlepas dari kesenjangan
yang jauh antara jumlah lulusan dengan jumlah kebutuhan dunia kerja (di
istilahkan dengan dimensi kuantitas), kesenjangan kompetensi lulusan dengan
kompetensi yang di butuhkan dunia kerja (dimensi kualitas), ketidak mampuan
wilayah/daerah setempat menyerap lulusan (dimensi lokasi), dan perubahan
kondisi ekonomi baik lokal, nasional, global dan lead time pendidikan (dimensi
waktu).
Dunia
pendidikan yang hanya berorientasi pada penyelenggaraan pengajaran (teaching)
dan riset menyebabkan tingkat pengganguran di Indonesia kian meninggi. Semua
ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan yang dilakukan selama ini adalah sangat
tidak efisien. Peserta didik belajar banyak hal dalam pelajaran tetapi kemudian
melupakan hal-hal tersebut karena sedikitnya korelasi dengan apa yang mereka
kerjakan.
Kesenjangan
– kesenjangan ini akhirnya melahirkan tingkat penggangguran yang masih tinggi
di Indonesia. Tidak memenuhi kualifikasi pekerjaan, materi ajaran sekolah yang
tidak sesuai dengan kebutuhan dunia kerja, lowongan pekerjaan yang terbatas,
banyaknya pekerja yang diberhentikan dari pekerjaan (PHK) serta minimnya
kemandirian pencari kerja untuk berwirausaha adalah beberapa faktor klasik
tingginya penggangguran tersebut.
Penyelarasan
dunia pendidikan dan dunia kerja diharapkan dapat menghasilkan kualitas lulusan
atau pencari kerja yang dapat memenuhi kualifikasi dan persyaratan yang
dibutuhkan dunia kerja atau dapat melakukan wirausaha secara mandiri. Tujuan
akhir dari penyelarasan ini adalah tercipta paradigma “The right man on the
right place”, memperkaya lapangan pekerjaan melalui wirausaha dan sekaligus
memperkecil angka penggangguran.
Ketidakselarasan antara dunia
pendidikan dan dunia kerja adalah ketidaksinkronan data proyeksi kebutuhan
antara kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja dengan prediksi jumlah lulusan pada
setiap lokasi di Indonesia. Sistem proyeksi ini ada pada data yang tidak
relevan atau mumpuni untuk memberikan prediksi tentang jurusan apa yang paling
dibutuhkan oleh dunia kerja dalam 5 atau 10 tahun ke depan pada suatu
lokasi/daerah.
Kurikulum, setuju atau tidak setuju
tetap merupakan kata kunci dalam penyelarasan dunia pendidikan dan dunia kerja.
Di sini juga di perlukan adanya penetapan standar mutu lulusan yang disesuaikan
dengan kompetensi yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Kecenderungan untuk merevisi
kurikulum menjadi berbasis kompetensi sesuai dengan kebutuhan dunia usaha/pasar
kerja telah lama di wacanakan oleh Pemerintah. Namun implementasinya secara
spesifik belum terlihat secara nyata. Kurangnya dukungan dari semua pihak untuk
mendorong percepatan revisi kurikulum tersebut. Tetapi perlu terus di ingatkan
bahwa sebagus apapun kurikulum, pada muaranya akan kembali kepada guru sebagai
tokoh sentral untuk menentukan metode yang tepat dalam pembelajarannya. Karena
guru yang menyampaikan langsung ke peserta didik. Kurikulum tidak bisa bicara,
guru lah yang berbicara.
Tidak adanya pengaturan keseimbangan
antara pembelajaran akademik dan pembelajaran keterampilan untuk mendapatkan
kompetensi lulusan dimana kompetensi lulusan ini berpengaruh pada link and
match dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Kurangnya tingkat berpikir kritis, kurang
kreatif, tidak mampu membuat keputusan dan menyelesaikan masalah serta tidak
mampu belajar dengan cepat adalah masalah yang dihadapi oleh lulusan yang
dihasilkan dimana kompetensi tersebut yang diperlukan dunia kerja dan harus
dimiliki lulusan. Untuk itu pendidikan harus di fokuskan untuk melakukan hal – hal
yang berguna.
Kurangnya pemahaman tentang culture
of doing dimana culture of doing merangsang peserta didik untuk merubah pola
pikir dari budaya “mengetahui” menjadi budaya “melakukan”. Hal ini karena
meskipun secara akademik, peserta didik menguasi materi pembelajaran, tetapi
mereka sering mengeluh merasa tidak ada hubungan antara apa yang mereka
pelajari dengan dunia nyata. Sebenarnya jika dengan terbentuknya culture of
doing, maka pola pendidikan di Indonesia akan menghasilkan peserta didik yang
siap menghadapi tantangan dunia nyata sekaligus beradaptasi langsung dengan
dunia kerja.
Dalam culture of doing, peserta
didik didorong untuk terlibat dengan dunia nyata, menganalisis segala sesuatu
yang terjadi dan menghubungkan dengan pembelajaran yang telah mereka terima.
Premis utama culture of doing adalah bahwa peserta didik harus terlibat
pembelajaran baik melaluipenekanan pada upaya kolaboratif, berbasis proyek
tugas, dan atau melalui fokus non-akademik.
Langkah – langkah menuju pelaksanaan
culture of doing adalah dengan memulai dari kelas mereka sendiri, seperti
memperkenalkan “tugas-tugas yang bermakna dalam kehidupan sehari hari” ke dalam
kelas. Sebagai contoh culture of doing adalah dalam pelajaran ekonomi, peserta
didik dapat mempelajari konsep jual beli dengan langsung mempraktekannya di
pasar dan berusaha mendapatkan laba/keuntungan. Dan di setiap akhir pekan siswa
dapat di ajak untuk mengunjungi sentra-sentra bisnis lokal.
Karena penyelarasan ini bersifat
mendesak karena kenyataan di masyarakat menunjukkan makin tinggi pendidikan
seseorang, makin rendah kemandirian terutama untuk berwirausaha. Pelatihan kewirausahaan
merupakan langkah untuk membangun kemandirian itu. Penyelarasan dunia
pendidikan dan dunia kerja yang mampu melatih lulusan untuk dapat mandiri
menjadi wirausaha yang membuka lapangan kerja bagi dirinya maupun orang lain.
Kewirausahaan bukan hanya bakat
bawaan sejak lahir atau bersifat praktek lapangan. Kewirausahaan merupakan
disiplin ilmu yang perlu dipelajari. Kemampuan seseorang dalam berwirausaha,
dapat dimatangkan melalui proses pendidikan dan kewirausahaan dapat
menciptakkan kemampuan untuk membuat sesuatu yang baru dan berbeda. Pelatihan
kewirausahaan seyogyanya di arahkan kepada kewirausahaan yang berbasis potensi
daerah, untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam mengenal dan
mengembangkan potensi daerahnya masing-masing.
Potensi lokal yang dimiliki oleh
setiap daerah tentu berbeda, baik dari kekayaan alam, laut, atau hutan, yang
secara keseluruhan memiliki keunggulan. Pelatihan kewirausahaan berbasis
muatan/potensi lokal bisa menjadi salah satu solusi untuk mendorong pertumbuhan
perekonomian nasional dan mengembalikan posisi Indonesia sebagai negara
agraris, maritim dan juga dapat menjadi bekal lulusan dalam menghadapi dunia
pasar bebas.
Pola kemitraan antara dunia
pendidikan dengan pemangku kepentingan (stakeholder) dan dunia usaha/kerja
perlu terus di bangun. Namun dalam kenyataanya dukungan pemerintah dan
perusahaan untuk memberikan kesempatan yang luas bagi peserta didik untuk
belajar secara langsung di dunia kerja dengan sistem magang/prakerin/praktek
kerja lapangan (PKL) untuk membuat mereka siap memasuki dunia kerja masih
kurang.
Dalam membangun kemitraan ini, tidak
ada kendali berarti dengan sekolah-sekolah kejuruan, tetapi sulit di terapkan
pada sekolah-sekolah negeri. Sekolah – sekolah negeri tidak mempunyai kultur
pemagangan peserta didik. Karena sekolah – sekolah negeri berorientasi pada
pelanjutan studi lebih lanjut bagi peserta didik dan bukan mempersiapkan
peserta didik siap kerja. Ini mungkin tidak terlepas dari kelemahan mendasar
dalam kemitraan yaitu waktu. Banyak guru takut ketinggalan jadwal pelajaran
bila harus membangun kemitraan dalam hal sistem magang. Tetapi permasalahan ini
dapat teratasi apabila kita berpandangan bahwa ketinggalan pelajaran tidak jadi
masalah asalkan peserta didik dapat menyerap ilmu dari luar sekaligus dapat
menerapkan pelajaran mereka secara nyata.
Langkah –
langkah apa yang harus diberikan kepada siswa agar mampu berdiri sendiri atau
mandiri ?
a.
Membangun Culture of
Doing
Culture of doing merangsang peserta didik untuk merubah pola pikir dari
budaya “mengetahui” menjadi budaya “melakukan”. Hal ini karena meskipun secara
akademik, peserta didik menguasi materi pembelajaran, tetapi mereka sering
mengeluh merasa tidak ada hubungan antara apa yang mereka pelajari dengan dunia
nyata. Dengan terbentuknya culture of doing, maka pola pendidikan di
Indonesia akan menghasilkan peserta didik yang siap menghadapi tantangan dunia
nyata sekaligus beradaptasi langsung dengan dunia kerja.
Dalam culture of doing, peserta didik didorong untuk terlibat dengan
dunia nyata, menganalisis segala sesuatu yang terjadi dan menghubungkan dengan
pembelajaran yang telah mereka terima. Premis utama culture of doing
adalah bahwa peserta didik harus terlibat pembelajaran baik melaluipenekanan
pada upaya kolaboratif, berbasis proyek tugas, dan atau melalui fokus
non-akademik. Langkah-langkah menuju pelaksanaan culture of doing adalah
dengan memulai dari kelas mereka sendiri, seperti memperkenalkan “tugas-tugas
yang bermakna dalam kehidupan sehari hari” ke dalam kelas. Sebagai contoh culture
of doing adalah dalam pelajaran ekonomi, peserta didik dapat mempelajari
konsep jual beli dengan langsung mempraktekannya di pasar dan berusaha
mendapatkan laba/keuntungan. Dan di setiap akhir pekan siswa dapat di ajak
untuk mengunjungi sentra-sentra bisnis lokal.
b.
Membangun Keterampilan
Kewirausahaan berbasis Muatan Lokal
Penyelarasan dunia pendidikan dan dunia kerja harus mampu melatih lulusan
untuk dapat mandiri menjadi wirausaha yang membuka lapangan kerja bagi dirinya
maupun orang lain. Penyelarasan ini bersifat mendesak karena kenyataan di
masyarakat menunjukkan makin tinggi pendidikan seseorang, makin rendah
kemandirian terutama untuk berwirausaha. Pelatihan kewirausahaan merupakan
langkah untuk membangun kemandirian itu.
Kewirausahaan bukan hanya bakat bawaan sejak lahir atau bersifat praktek
lapangan. Kewirausahaan merupakan disiplin ilmu yang perlu dipelajari.
Kemampuan seseorang dalam berwirausaha, dapat dimatangkan melalui proses
pendidikan dan kewirausahaan dapat menciptakkan kemampuan untuk membuat sesuatu
yang baru dan berbeda. Pelatihan kewirausahaan seyogyanya di arahkan kepada
kewirausahaan yang berbasis potensi daerah, untuk meningkatkan kemampuan
peserta didik dalam mengenal dan mengembangkan potensi daerahnya masing-masing.
Potensi lokal yang dimiliki oleh setiap daerah tentu berbeda, baik dari
kekayaan alam, laut, atau hutan, yang secara keseluruhan memiliki keunggulan.
Pelatihan kewirausahaan berbasis muatan/potensi lokal bisa menjadi salah satu
solusi untuk mendorong pertumbuhan perekonomian nasional dan mengembalikan
posisi Indonesia sebagai negara agraris, maritim dan juga dapat menjadi bekal
lulusan dalam menghadapi dunia pasar bebas.
c.
Membangun Kemitraan
Pola kemitraan antara dunia pendidikan dengan pemangku
kepentingan (stakeholder) dan dunia usaha/kerja perlu terus di bangun. Untuk
itu perlu dukungan pemerintah dan perusahaan untuk memberikan kesempatan yang
luas bagi peserta didik untuk belajar secara langsung di dunia kerja dengan
sistem magang/prakerin/praktek kerja lapangan (PKL) untuk membuat mereka siap
memasuki dunia kerja.
Dalam membangun kemitraan ini, tidak ada kendali
berarti dengan sekolah-sekolah kejuruan, tetapi sulit di terapkan pada
sekolah-sekolah negeri. Sekolah – sekolah negeri tidak mempunyai kultur
pemagangan peserta didik. Karena sekolah-sekolah negeri berorientasi pada
pelanjutan studi lebih lanjut bagi peserta didik dan bukan mempersiapkan
peserta didik siap kerja. Ini mungkin tidak terlepas dari kelemahan mendasar
dalam kemitraan yaitu waktu.
Banyak guru takut ketinggalan jadwal pelajaran bila
harus membangun kemitraan dalam hal sistem magang. Tetapi permasalahan ini
dapat teratasi apabila kita berpandangan bahwa ketinggalan pelajaran tidak jadi
masalah asalkan peserta didik dapat menyerap ilmu dari luar sekaligus dapat
menerapkan pelajaran mereka secara nyata.
d.
Pendidikan di sekolah perlu
melakukan upaya – upaya pengembangan kemandirian siswa. Desmita (2009 : 190)
mengemukakan upaya yang dapat dilakukan oleh sekolah untuk mengembangkan kemandirian
siswa adalah :
1)
Mengembangkan proses belajar
mengajar yang demokratis, yang memungkinkan anak merasa dihargai.
2)
Mendorong anak untuk
berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan dan dalam berbagai kegiatan
sekolah.
3)
Memberikan kebebasan kepada
anak untuk mengekplorasi lingkungan serta mendorong rasa ingin tahu.
4)
Penerimaan positif tanpa
syarat kelebihan dan kekurangan anak, tidak membeda-bedakan anak yang satu
dengan yang lainnya.
5)
Menjalin hubungan yang
harmonis dan akrab dengan anak.
Sejalan dengan pendapat di
atas Ali dan Asrori (2005 : 119 – 120) mengemukakan ada sejumlah intervensi
yang dapat dilakukan untuk pengembangan kemandirian remaja, antara lain sebagai
berikut:
1)
Penciptaan partisipasi dan
keterlibatan dalam keluarga, yang diwujudkan dalam bentuk saling menghargai
antaranggota keluarga dan keterlibatan dalam memecahkan masalah remaja
2)
Penciptaan keterbukaan yang
diwujudkan dalam bentuk toleransi terhadap perbedaan pendapat, memberikan
alasan terhadap keputusan yang diambil bagi remaja, keterbukaan terhadap minat
remaja, mengembangkan komitmen terhadap tugas remaja, kehadiran dan keakraban
hubungan dengan remaja
3)
Penciptaan kebebasan untuk
mengeksplorasi lingkungan, yang diwujudkan dalam bentuk mendorong rasa ingin
tahu remaja, adanya aturan tetapi tidak cenderung mengancam apabila ditaati,
adanya jaminan rasa aman dan kebebasan untuk mengeksplorasi lingkungan
4)
Penerimaan positif tanpa
syarat, yang diwujudkan dalam bentuk tidak membeda-bedakan remaja, menerima
remaja apa adanya, serta menghargai ekspresi potensi remaja
5)
Empati terhadap remaja, yang
diwujudkan dalam bentuk memahami pikiran dan perasaan remaja, melihat persoalan
remaja dengan berbagai sudut pandang, dan tidak mudah mencela karya remaja
6)
Penciptaan kehangatan
hubungan dengan remaja, yang diwujudkan dalam bentuk interaksi secara akrab,
membangun suasana humor dan komunikasi ringan dengan remaja, dan bersikap
terbuka terhadap remaja.
Melalui upaya pengembangan
kemandirian yang dilakukan oleh keluarga maupun pendidik tersebut dapat memicu
berkembangnya kemandirian pada diri remaja sehingga remaja dapat mencapai
perkembangannya secara optimal. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, upaya
yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kemandirian siswa adalah: melakukan
tindakan penciptaan kebebasan keterlibatan dan partisipasi siswa dalam berbagai
kegiatan, menciptakan hubungan yang akrab, hangat dan harmonis dengan siswa,
menciptakan keterbukaan, penerimaan positif tanpa syarat, menciptakan kebebasan
untuk mengeksplorasi lingkungan serta menciptakan empati kepada siswa.
Numpang promo ya Admin^^
BalasHapusingin mendapatkan uang banyak dengan cara cepat
ayo segera bergabung dengan kami di ionpk.club ^_$
add Whatshapp : +85515373217 || ditunggu ya^^