Selasa, 03 Desember 2019

Problem kelulusan dari produk pendidikan di negara kita tidak sesuai dengan target pemerintah diantaranya kemandirian atau berdikari dan langkah yang harus diberikan pada siswa

      Mengapa problem kelulusan dari produk pendidikan di negara kita tidak sesuai dengan target pemerintah diantaranya kemandirian atau berdikari ? Langkah – langkah apa yang harus diberikan kepada siswa agar mampu berdiri sendiri atau mandiri ?
Jawab :
Meskipun pendidikan tidak berorientasi langsung pada pekerjaan, tetapi kebutuhan akan penyelarasan antara dunia pendidikan dan dunia kerja dewasa ini menjadi sangat penting. Fenomena urgennya penyelarasan ini tidak terlepas dari kesenjangan yang jauh antara jumlah lulusan dengan jumlah kebutuhan dunia kerja (di istilahkan dengan dimensi kuantitas), kesenjangan kompetensi lulusan dengan kompetensi yang di butuhkan dunia kerja (dimensi kualitas), ketidak mampuan wilayah/daerah setempat menyerap lulusan (dimensi lokasi), dan perubahan kondisi ekonomi baik lokal, nasional, global dan lead time pendidikan (dimensi waktu).
Dunia pendidikan yang hanya berorientasi pada penyelenggaraan pengajaran (teaching) dan riset menyebabkan tingkat pengganguran di Indonesia kian meninggi. Semua ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan yang dilakukan selama ini adalah sangat tidak efisien. Peserta didik belajar banyak hal dalam pelajaran tetapi kemudian melupakan hal-hal tersebut karena sedikitnya korelasi dengan apa yang mereka kerjakan.
Kesenjangan – kesenjangan ini akhirnya melahirkan tingkat penggangguran yang masih tinggi di Indonesia. Tidak memenuhi kualifikasi pekerjaan, materi ajaran sekolah yang tidak sesuai dengan kebutuhan dunia kerja, lowongan pekerjaan yang terbatas, banyaknya pekerja yang diberhentikan dari pekerjaan (PHK) serta minimnya kemandirian pencari kerja untuk berwirausaha adalah beberapa faktor klasik tingginya penggangguran tersebut.
Penyelarasan dunia pendidikan dan dunia kerja diharapkan dapat menghasilkan kualitas lulusan atau pencari kerja yang dapat memenuhi kualifikasi dan persyaratan yang dibutuhkan dunia kerja atau dapat melakukan wirausaha secara mandiri. Tujuan akhir dari penyelarasan ini adalah tercipta paradigma “The right man on the right place”, memperkaya lapangan pekerjaan melalui wirausaha dan sekaligus memperkecil angka penggangguran.
Ketidakselarasan antara dunia pendidikan dan dunia kerja adalah ketidaksinkronan data proyeksi kebutuhan antara kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja dengan prediksi jumlah lulusan pada setiap lokasi di Indonesia. Sistem proyeksi ini ada pada data yang tidak relevan atau mumpuni untuk memberikan prediksi tentang jurusan apa yang paling dibutuhkan oleh dunia kerja dalam 5 atau 10 tahun ke depan pada suatu lokasi/daerah.
Kurikulum, setuju atau tidak setuju tetap merupakan kata kunci dalam penyelarasan dunia pendidikan dan dunia kerja. Di sini juga di perlukan adanya penetapan standar mutu lulusan yang disesuaikan dengan kompetensi yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Kecenderungan untuk merevisi kurikulum menjadi berbasis kompetensi sesuai dengan kebutuhan dunia usaha/pasar kerja telah lama di wacanakan oleh Pemerintah. Namun implementasinya secara spesifik belum terlihat secara nyata. Kurangnya dukungan dari semua pihak untuk mendorong percepatan revisi kurikulum tersebut. Tetapi perlu terus di ingatkan bahwa sebagus apapun kurikulum, pada muaranya akan kembali kepada guru sebagai tokoh sentral untuk menentukan metode yang tepat dalam pembelajarannya. Karena guru yang menyampaikan langsung ke peserta didik. Kurikulum tidak bisa bicara, guru lah yang berbicara.
Tidak adanya pengaturan keseimbangan antara pembelajaran akademik dan pembelajaran keterampilan untuk mendapatkan kompetensi lulusan dimana kompetensi lulusan ini berpengaruh pada link and match dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Kurangnya tingkat berpikir kritis, kurang kreatif, tidak mampu membuat keputusan dan menyelesaikan masalah serta tidak mampu belajar dengan cepat adalah masalah yang dihadapi oleh lulusan yang dihasilkan dimana kompetensi tersebut yang diperlukan dunia kerja dan harus dimiliki lulusan. Untuk itu pendidikan harus di fokuskan untuk melakukan hal – hal yang berguna.
Kurangnya pemahaman tentang culture of doing dimana culture of doing merangsang peserta didik untuk merubah pola pikir dari budaya “mengetahui” menjadi budaya “melakukan”. Hal ini karena meskipun secara akademik, peserta didik menguasi materi pembelajaran, tetapi mereka sering mengeluh merasa tidak ada hubungan antara apa yang mereka pelajari dengan dunia nyata. Sebenarnya jika dengan terbentuknya culture of doing, maka pola pendidikan di Indonesia akan menghasilkan peserta didik yang siap menghadapi tantangan dunia nyata sekaligus beradaptasi langsung dengan dunia kerja.
Dalam culture of doing, peserta didik didorong untuk terlibat dengan dunia nyata, menganalisis segala sesuatu yang terjadi dan menghubungkan dengan pembelajaran yang telah mereka terima. Premis utama culture of doing adalah bahwa peserta didik harus terlibat pembelajaran baik melaluipenekanan pada upaya kolaboratif, berbasis proyek tugas, dan atau melalui fokus non-akademik.
Langkah – langkah menuju pelaksanaan culture of doing adalah dengan memulai dari kelas mereka sendiri, seperti memperkenalkan “tugas-tugas yang bermakna dalam kehidupan sehari hari” ke dalam kelas. Sebagai contoh culture of doing adalah dalam pelajaran ekonomi, peserta didik dapat mempelajari konsep jual beli dengan langsung mempraktekannya di pasar dan berusaha mendapatkan laba/keuntungan. Dan di setiap akhir pekan siswa dapat di ajak untuk mengunjungi sentra-sentra bisnis lokal.
Karena penyelarasan ini bersifat mendesak karena kenyataan di masyarakat menunjukkan makin tinggi pendidikan seseorang, makin rendah kemandirian terutama untuk berwirausaha. Pelatihan kewirausahaan merupakan langkah untuk membangun kemandirian itu. Penyelarasan dunia pendidikan dan dunia kerja yang mampu melatih lulusan untuk dapat mandiri menjadi wirausaha yang membuka lapangan kerja bagi dirinya maupun orang lain.
Kewirausahaan bukan hanya bakat bawaan sejak lahir atau bersifat praktek lapangan. Kewirausahaan merupakan disiplin ilmu yang perlu dipelajari. Kemampuan seseorang dalam berwirausaha, dapat dimatangkan melalui proses pendidikan dan kewirausahaan dapat menciptakkan kemampuan untuk membuat sesuatu yang baru dan berbeda. Pelatihan kewirausahaan seyogyanya di arahkan kepada kewirausahaan yang berbasis potensi daerah, untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam mengenal dan mengembangkan potensi daerahnya masing-masing.
Potensi lokal yang dimiliki oleh setiap daerah tentu berbeda, baik dari kekayaan alam, laut, atau hutan, yang secara keseluruhan memiliki keunggulan. Pelatihan kewirausahaan berbasis muatan/potensi lokal bisa menjadi salah satu solusi untuk mendorong pertumbuhan perekonomian nasional dan mengembalikan posisi Indonesia sebagai negara agraris, maritim dan juga dapat menjadi bekal lulusan dalam menghadapi dunia pasar bebas.
Pola kemitraan antara dunia pendidikan dengan pemangku kepentingan (stakeholder) dan dunia usaha/kerja perlu terus di bangun. Namun dalam kenyataanya dukungan pemerintah dan perusahaan untuk memberikan kesempatan yang luas bagi peserta didik untuk belajar secara langsung di dunia kerja dengan sistem magang/prakerin/praktek kerja lapangan (PKL) untuk membuat mereka siap memasuki dunia kerja masih kurang.
Dalam membangun kemitraan ini, tidak ada kendali berarti dengan sekolah-sekolah kejuruan, tetapi sulit di terapkan pada sekolah-sekolah negeri. Sekolah – sekolah negeri tidak mempunyai kultur pemagangan peserta didik. Karena sekolah – sekolah negeri berorientasi pada pelanjutan studi lebih lanjut bagi peserta didik dan bukan mempersiapkan peserta didik siap kerja. Ini mungkin tidak terlepas dari kelemahan mendasar dalam kemitraan yaitu waktu. Banyak guru takut ketinggalan jadwal pelajaran bila harus membangun kemitraan dalam hal sistem magang. Tetapi permasalahan ini dapat teratasi apabila kita berpandangan bahwa ketinggalan pelajaran tidak jadi masalah asalkan peserta didik dapat menyerap ilmu dari luar sekaligus dapat menerapkan pelajaran mereka secara nyata.

Langkah – langkah apa yang harus diberikan kepada siswa agar mampu berdiri sendiri atau mandiri ?
a.       Membangun Culture of Doing
Culture of doing merangsang peserta didik untuk merubah pola pikir dari budaya “mengetahui” menjadi budaya “melakukan”. Hal ini karena meskipun secara akademik, peserta didik menguasi materi pembelajaran, tetapi mereka sering mengeluh merasa tidak ada hubungan antara apa yang mereka pelajari dengan dunia nyata. Dengan terbentuknya culture of doing, maka pola pendidikan di Indonesia akan menghasilkan peserta didik yang siap menghadapi tantangan dunia nyata sekaligus beradaptasi langsung dengan dunia kerja.
Dalam culture of doing, peserta didik didorong untuk terlibat dengan dunia nyata, menganalisis segala sesuatu yang terjadi dan menghubungkan dengan pembelajaran yang telah mereka terima. Premis utama culture of doing adalah bahwa peserta didik harus terlibat pembelajaran baik melaluipenekanan pada upaya kolaboratif, berbasis proyek tugas, dan atau melalui fokus non-akademik. Langkah-langkah menuju pelaksanaan culture of doing adalah dengan memulai dari kelas mereka sendiri, seperti memperkenalkan “tugas-tugas yang bermakna dalam kehidupan sehari hari” ke dalam kelas. Sebagai contoh culture of doing adalah dalam pelajaran ekonomi, peserta didik dapat mempelajari konsep jual beli dengan langsung mempraktekannya di pasar dan berusaha mendapatkan laba/keuntungan. Dan di setiap akhir pekan siswa dapat di ajak untuk mengunjungi sentra-sentra bisnis lokal.
b.      Membangun Keterampilan Kewirausahaan berbasis Muatan Lokal
Penyelarasan dunia pendidikan dan dunia kerja harus mampu melatih lulusan untuk dapat mandiri menjadi wirausaha yang membuka lapangan kerja bagi dirinya maupun orang lain. Penyelarasan ini bersifat mendesak karena kenyataan di masyarakat menunjukkan makin tinggi pendidikan seseorang, makin rendah kemandirian terutama untuk berwirausaha. Pelatihan kewirausahaan merupakan langkah untuk membangun kemandirian itu.
Kewirausahaan bukan hanya bakat bawaan sejak lahir atau bersifat praktek lapangan. Kewirausahaan merupakan disiplin ilmu yang perlu dipelajari. Kemampuan seseorang dalam berwirausaha, dapat dimatangkan melalui proses pendidikan dan kewirausahaan dapat menciptakkan kemampuan untuk membuat sesuatu yang baru dan berbeda. Pelatihan kewirausahaan seyogyanya di arahkan kepada kewirausahaan yang berbasis potensi daerah, untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam mengenal dan mengembangkan potensi daerahnya masing-masing.
Potensi lokal yang dimiliki oleh setiap daerah tentu berbeda, baik dari kekayaan alam, laut, atau hutan, yang secara keseluruhan memiliki keunggulan. Pelatihan kewirausahaan berbasis muatan/potensi lokal bisa menjadi salah satu solusi untuk mendorong pertumbuhan perekonomian nasional dan mengembalikan posisi Indonesia sebagai negara agraris, maritim dan juga dapat menjadi bekal lulusan dalam menghadapi dunia pasar bebas.
c.       Membangun Kemitraan
Pola kemitraan antara dunia pendidikan dengan pemangku kepentingan (stakeholder) dan dunia usaha/kerja perlu terus di bangun. Untuk itu perlu dukungan pemerintah dan perusahaan untuk memberikan kesempatan yang luas bagi peserta didik untuk belajar secara langsung di dunia kerja dengan sistem magang/prakerin/praktek kerja lapangan (PKL) untuk membuat mereka siap memasuki dunia kerja.
Dalam membangun kemitraan ini, tidak ada kendali berarti dengan sekolah-sekolah kejuruan, tetapi sulit di terapkan pada sekolah-sekolah negeri. Sekolah – sekolah negeri tidak mempunyai kultur pemagangan peserta didik. Karena sekolah-sekolah negeri berorientasi pada pelanjutan studi lebih lanjut bagi peserta didik dan bukan mempersiapkan peserta didik siap kerja. Ini mungkin tidak terlepas dari kelemahan mendasar dalam kemitraan yaitu waktu.
Banyak guru takut ketinggalan jadwal pelajaran bila harus membangun kemitraan dalam hal sistem magang. Tetapi permasalahan ini dapat teratasi apabila kita berpandangan bahwa ketinggalan pelajaran tidak jadi masalah asalkan peserta didik dapat menyerap ilmu dari luar sekaligus dapat menerapkan pelajaran mereka secara nyata.
d.      Pendidikan di sekolah perlu melakukan upaya – upaya pengembangan kemandirian siswa. Desmita (2009 : 190) mengemukakan upaya yang dapat dilakukan oleh sekolah untuk mengembangkan kemandirian siswa adalah :
1)   Mengembangkan proses belajar mengajar yang demokratis, yang memungkinkan anak merasa dihargai.
2)   Mendorong anak untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan dan dalam berbagai kegiatan sekolah.
3)   Memberikan kebebasan kepada anak untuk mengekplorasi lingkungan serta mendorong rasa ingin tahu.
4)   Penerimaan positif tanpa syarat kelebihan dan kekurangan anak, tidak membeda-bedakan anak yang satu dengan yang lainnya.
5)   Menjalin hubungan yang harmonis dan akrab dengan anak.
Sejalan dengan pendapat di atas Ali dan Asrori (2005 : 119 – 120) mengemukakan ada sejumlah intervensi yang dapat dilakukan untuk pengembangan kemandirian remaja, antara lain sebagai berikut:
1)      Penciptaan partisipasi dan keterlibatan dalam keluarga, yang diwujudkan dalam bentuk saling menghargai antaranggota keluarga dan keterlibatan dalam memecahkan masalah remaja
2)      Penciptaan keterbukaan yang diwujudkan dalam bentuk toleransi terhadap perbedaan pendapat, memberikan alasan terhadap keputusan yang diambil bagi remaja, keterbukaan terhadap minat remaja, mengembangkan komitmen terhadap tugas remaja, kehadiran dan keakraban hubungan dengan remaja
3)      Penciptaan kebebasan untuk mengeksplorasi lingkungan, yang diwujudkan dalam bentuk mendorong rasa ingin tahu remaja, adanya aturan tetapi tidak cenderung mengancam apabila ditaati, adanya jaminan rasa aman dan kebebasan untuk mengeksplorasi lingkungan
4)      Penerimaan positif tanpa syarat, yang diwujudkan dalam bentuk tidak membeda-bedakan remaja, menerima remaja apa adanya, serta menghargai ekspresi potensi remaja
5)      Empati terhadap remaja, yang diwujudkan dalam bentuk memahami pikiran dan perasaan remaja, melihat persoalan remaja dengan berbagai sudut pandang, dan tidak mudah mencela karya remaja
6)      Penciptaan kehangatan hubungan dengan remaja, yang diwujudkan dalam bentuk interaksi secara akrab, membangun suasana humor dan komunikasi ringan dengan remaja, dan bersikap terbuka terhadap remaja.
Melalui upaya pengembangan kemandirian yang dilakukan oleh keluarga maupun pendidik tersebut dapat memicu berkembangnya kemandirian pada diri remaja sehingga remaja dapat mencapai perkembangannya secara optimal. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kemandirian siswa adalah: melakukan tindakan penciptaan kebebasan keterlibatan dan partisipasi siswa dalam berbagai kegiatan, menciptakan hubungan yang akrab, hangat dan harmonis dengan siswa, menciptakan keterbukaan, penerimaan positif tanpa syarat, menciptakan kebebasan untuk mengeksplorasi lingkungan serta menciptakan empati kepada siswa.

1 komentar:

  1. Numpang promo ya Admin^^
    ingin mendapatkan uang banyak dengan cara cepat
    ayo segera bergabung dengan kami di ionpk.club ^_$
    add Whatshapp : +85515373217 || ditunggu ya^^

    BalasHapus

PEMBUKUAN SECARA KOMPUTERISASI

Pengertian Komputerisasi Akuntansi dapat digambarkan sebagai sistem akuntansi yang menggunakan sistem komputer dan perangkat lunak akuntansi...