Selasa, 03 Desember 2019

Pemikiran kekinian yang berkaitan dengan profesi pendidik dan relevansinya dengan masa sekarang

Jelaskan dengan pemikiran – pemikiran kekinian yang berkaitan dengan profesi pendidik (syarat – syarat profesi yang normatif) ! Apakah itu masih relevan dengan masa sekarang ?
Jawab :
Guru tidak lagi menjadi cita – cita yang diidamkan. Kalangan pelajar generasi now ternyata lebih memilih menjadi pengusaha atau profesi kekinian lain ketimbang menjadi pahlawan tanda jasa tersebut. Tren ini ditemukan berdasar survei yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terhadap peserta ujian nasional (UN). Dari angket yang disebar, hanya 11% siswa yang ingin menjadi guru. Angket UN 2019 diisi oleh 512.500 siswa (25,94%) peserta UN berbasis komputer 2019. Setiap sekolah maksimal 60 siswa mengisi angket. Jumlah sekolah responden adalah 8.549 SMA/MA (40%).
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Kabalitbang) Kemendikbud Totok Suprayitno mengungkapkan, angket yang disebar di sekolah formal salah satunya diarahkan untuk mengetahui cita-cita anak di masa depan. “Kebanyakan mereka ingin jadi wirausahawan hebat. Yang (ingin jadi) presiden juga ada. Banyak” ujar Totok di Jakarta kemarin. Mantan Atdikbud RI di Washington DC ini menjelaskan, dari total responden angket yang menjawab ingin menjadi guru hanya 11%, sedangkan 89% lainnya menjawab bukan bercita-cita menjadi guru. Dari 11% yang ingin menjadi guru, 80% di antaranya berasal dari pelajar perempuan.
“Angket menggali lebih dalam tentang siapa siswa yang ingin menjadi guru, karena guru sebagai tonggak utama pendidikan yang akan mendidik anak bangsa di masa depan,” katanya. Dia lantas menuturkan, jika dilihat lagi dari hasil UN siswa yang ingin menjadi guru rerata nilai UN mapel Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika capaiannya lebih rendah dibandingkan siswa yang memilih profesi lainnya sebagai cita-cita. Intinya, ujar Totok, yang ingin menjadi guru bukanlah siswa yang nilai akademisnya terbaik dari seluruh responden.
Sebenarnya, lanjut dia, pemerintah sangat berharap seseorang yang menjadi tenaga pendidik adalah siswa – siswi terbaik. Apalagi, saat ini guru yang sudah bersertifikat itu digaji dua kali lipat. “Seperti di Finlandia (yang menjadi), guru merupakan the best, top of the creme ini tertarik menjadi guru. Di Indonesia, rasanya belum berdampak”, jelasnya. Pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina Totok Amin Soefijanto menanggapi positif  banyaknya siswa yang ingin menjadi pengusaha. Dia menilai bangsa Indonesia saat ini banyak membutuhkan pengusaha sebagai penggerak ekonomi. Adapun mengenai minimnya pelajar yang ingin menjadi guru, menurut dia hal tersebut tidak bisa dipaksa karena profesi guru tidak hanya terkait minat, tetapi kompetensi dan keseriusan hati para calon guru.
Pada jaman ini seseorang memilih menjadi guru lebih terdorong oleh hasrat dalam diri untuk membaktikan diri. Ia memahami konsekuensi menjadi guru adalah melayani, dan sudah sadar bahwa ia tidak akan kaya seperti seorang pengusaha. Di era 1980-n seorang guru yang mempunyai kemampuan lebih bisa memberikan les privat di luar jam sekolah, itu adalah pemasukan tambahan selain gaji pokok sebagai seorang guru. Ada juga yang membuka warung kecil – kecilan untuk menambah lauk di rumah. Belum lagi di daerah terpencil, tenaga mereka dihargai dengan hasil lading orang tua murid. Maka di jaman itu kita sering mendengar istilah: “Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa.
”Guru pada jaman itu merupakan suatu profesi yang sangat terhormat, karena dianggap memiliki pengetahuan lebih daripada masyarakat setempat. Masyarakat juga menuntut para guru mengajarkan nilai moral kepada anak-anak mereka, di samping pengetahuan baca tulis dan berhitung. Guru juga punya hak otoriter sebagai pengganti orang tua bila anak berada di sekolah. Cara mendidik mereka lebih banyak menggunakan pendekatan pribadi yang membuat interaksi guru murid lebih erat. Hal ini terbawa sampai di luar jam sekolah karena kondisi social masyarakat jaman dulu yang lebih bersifat kekeluargaan.
Perekrutan tenaga pendidik sekarang lebih mengutamakan nilai kelulusan dan sertifikasi yang dimiliki guru tersebut. Apakah guru tersebut sudah pasti kompeten mengajar dengan kelulusan yang bernilai tinggi dan banyaknya sertifikat yang dimiliki? Belum tentu. Namun sudah menjadi pengetahuan umum bahwa sekolah-sekolah yang ingin merekrut guru di samping pengalaman minimal 1 atau 2 tahun juga meminta bukti berupa sertifikat yang dimiliki guru tersebut sebagai bukti bahwa ia mempunyai ‘skill’ lebih. Tuntutan ekonomi membuat dedikasi mengajar sebagai suatu pelayanan menjadi berkurang.
Bisa dimaklumi karena media apapun sekarang berlomba menawarkan barang konsumsi. Guru juga seorang manusia, ia punya keluarga yang harus dihidupi. Di jaman sekarang tuntutan ekonomi seakan tidak pernah habis, malah selalu naik setiap tahunnya. Cara mendidik guru sekarang juga sangat jarang menggunakan pendekatan pribadi lagi. Wibawa seorang guru tidak lagi dianggap sebagai pihak otoriter yang mesti disegani, dipanuti. Murid menganggap guru mengajar hanya menjalankan kewajiban, interaksi guru-siswa terbatas pada jam sekolah. Masyarakat sekarang yang lebih mengarah ke individualis, terutama di kota-kota besar, membuat interaksi personal semakin berkurang.
Dalam pandangan al – Ghazali, sentral dalam pendidikan adalah hati sebab hati merupakan esensi dari manusia. Menurutnya, substansi manusia bukanlah terletak pada unsur-unsur yang ada pada fisiknya, melainkan berada pada hatinya dan memandang manusia bersifat teosentris sehingga konsep tentang pendidikannya lebih diarahkan pada pembentukan akhlak yang mulia. Tugas guru tidak hanya mencerdaskan pikiran, tetapi juga membimbing, mengarahkan, meningkatkan, dan menyucikan hati untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Jadi, peranan guru sangatlah besar, bukan hanya mengajar, mentransfer ilmu, melainkan yang lebih penting adalah mendidik.
Pandangan al – Ghazali terhadap guru sangat idealistik. Idealisasi guru, menurutnya, adalah orang yang berilmu, beramal, dan mengajar. Berangkat dari perspektif idealistik tersebut, al-Ghazali menegaskan bahwa pendidik atau guru perlu menjaga etika dan kode etik profesinya. Kode etik atau tugas profesi yang harus dipatuhi guru (pendidik) meliputi delapan hal berikut :
a.         Menyayangi peserta didiknya, bahkan memperlakukan mereka seperti perlakuan dan kasih sayang guru kepada anaknya sendiri.
b.        Guru bersedia sungguh-sungguh mengikuti tuntunan Rasulullah sehingga ia tidak mengajar untuk mencari upah atau untuk mendapatkan penghargaan dan tanda jasa. Akan tetapi, semata-mata mencari keridhaan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.
c.         Guru tidak boleh mengabaikan tugas memberi nasihat kepada peserta didiknya, yang meliputi nasihat tentang tahapan mencari ilmu (termasuk prioritas studi keilmuan yang harus digeluti), serta nasihat tentang tujuan mencari ilmu yang berorientasi pada pendekatan diri kepada Allah.
d.        Mencegah peserta didik terjerembab ke dalam akhlak tercela melalui cara sepersuatif mungkin dan melalui cara penuh kasih sayang, tidak dengan cara mencemooh dan kasar.
e.         Kepakaran guru dalam spesialisasi keilmuan tertentu tidak menyebabkannya memandang remeh disiplin keilmuan lainnya.
f.         Guru menyampaikan materi pengajarannya sesuai dengan tingkat pemahaman peserta didik.
g.        Terhadap peserta didik yang berkemampuan rendah, guru menyampaikan materi secara jelas, konkret, dan sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik dalam mencernanya.
h.        Guru mau mengamalkan ilmunya sehingga antara terjadi keterpaduan antara ucapan dan tindakan guru. Bagaimanapun, ilmu hanya diketahui dengan mata hati (basha’ir), sedangkan perbuatan diketahui dengan mata kepala (abshar). Apabila terjadi kontradiksi antara ilmu dan amal, tentu akan menghambat keteladanan.
Era global ditandai dengan adanya perdagangan bebas dan semakin meningkatnya persaingan serta gejolak harga pasar yang membuat ketidakpastian (risiko usaha) semakin meningkat. Era ini ditandai pula dengan adanya perkembangan teknologi yang semakin hari semakin meningkat. Miliaran informasi dapat kita akses setiap hari dengan sangat mudah. Dunia yang teramat luas ini seakan menjadi kecil dan dekat secara berlipat-lipat. Konsekuensinya, ilmu pengetahuan pun berkembang dengan sangat pesat.
Turbulensi (pergolakan) arus global ini amat kuat dan dampaknya pada semua aspek kehidupan manusia, termasuk pendidikan. Pendidikan mau tak mau masuk dalam perangkap arus dan mengalami turbulensi ini. Bagi pendidikan, turbulensi arus global bisa menimbulkan paradoks atau gejala kontra moralitas, yakni pertentangan dua sisi moral secara diametral, seperti guru memberi pesan agar anak tidak terlibat tawuran, tetapi di lingkungan masyarakat justru sering dipertontonkan adanya bentrok antarwarga atau antarkelompok masyarakat; di sekolah diadakan razia pornografi, tetapi media massa semakin tidak sungkan untuk mengumbar segala yang merangsang birahi; begitu pula harapan agar peserta didik tampil kreatif dan egaliter, tetapi di rumah ia justru menyaksikan perilaku orang tua yang otoriter.
Globalisasi membawa dampak terjadinya kontra-moralitas antara apa yang diidealkan dalam pendidikan dan realitas di lapangan. Arus global bukanlah lawan atau kawan bagi pendidikan, melainkan sebagai dinamisator bagi “mesin” yang berjuluk pendidikan. Bila pendidikan mengambil posisi antiglobal, maka “mesin” tersebut tidak akan stationaire alias macet, lalu pendidikan pun mengalami intellectual shut down atau penutupan intelektual. Sebaliknya, bila pendidikan terseret oleh arus global, tanpa daya lagi identitas sebuah proses pendidikan akan dilindas oleh “mesin” tadi.
Menutup diri atau bersikap eksklusif terhadap globalisasi bisa mengakibatkan ketinggalan zaman, sementara membuka diri juga berisiko kehilangan jadi atau kepribadian. Oleh karena itu, pendidikan perlu melakukan tarik ulur terhadap arus global; mana yang baik dan sesuai, diambil; dan mana yang tidak baik dan tidak pula sesuai, dilepaskan atau ditinggalkan. Di atara dampak nyata dari arus global adalah perubahan pola hidup manusia yang cenderung semakin materialistik dan pragmatis keduniaan. Kondisi ini menemukan keserupaan dengan masa hidup al – Ghazali, dimana pada masa itu masyarakat Islam juga memiliki kecenderungan demikian.
Realitas sosial masyarakat Indonesia sekarang yang materialistik dan hedonis sebenarnya hampir tidak berbeda dengan kondisi masyarakat Barat. Jika ditarik ke belakang, masa ini juga sudah menggejala di masa al – Ghazali. Aktivitas belajar dan keilmuan semata-mata diorientasikan pada capaian – capaian kebendaan dan keduniaan. Guru sibuk mengurus segala administrasi demi mendapatkan sertifikasi, namun abai terhadap loyalitasnya kepada ilmu dan para penuntut ilmu. Tidak berlebihan jika kemudian penulis menyimpulkan bahwa pemikiran al – Ghazali masih relevan untuk digaungkan sebagai ikhtiar memperbaiki pendidikan dan moralitas masyarakat di Indonesia.
Namun, dengan tetap mengkritisi sisi – sisi yang harus dikontekstualisasikan relevansinya dengan era sekarang. Misalnya, tentang guru yang oleh al – Ghazali ditegur keras agar tidak mencari upah dalam mengajar.  Kode etik pendidik oleh al – Ghazali ini hendaklah dimaknai bahwa guru/pendidikan harus memiliki loyalitas terhadap ilmu pengetahuan dan proses pendidikan. Adapun upah atau aspek ekonomi merupakan orientasi sekunder yang selayaknya didapat oleh pendidik sebangun dengan sumbangsihnya secara total terhadap kemajuan pendidikan.
Oleh karena itu perlu kiranya seorang pendidik untuk selalu meningkatkan kemampuan, pengetahuan dan sikap yang baru dalam performa tugas kewajibannya. Formulasi tersebut menjadi tanggung jawab seorang pendidik untuk selalu bisa berperan dalam segala konteks. Melihat banyaknya perubahan dinamika dari waktu ke waktu maka pendidik dituntut untuk aktif dan selalu bergerak demi menyelamatkan generasi penerus bangsa.
Ada beberapa hal yang penting untuk dapat diambil yaitu seorang pendidik harus mempunyai modal yang luar biasa yang menyangkut tentang kejiwaan, kepribadian, serta pemahaman atas budaya yang ada di Indonesia, dengan memiliki hal ini maka seorang pendidik senantiasa akan berprilaku yang baik, jauh dari kekerasan dalam mendidik.
Tugas guru dan pemimpin sekolah di samping memberikan ilmu pengetahuan-pengatahuan, keterampilan, juga mendidik anak beragama. Disinilah sekolah berfungsi sebagai pembantu keluarga dalam memberikan pendidikan dan pengajaran kepada peserta didik. Pendidikan budi pekerti dan keagamaan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah haruslah merupakan kelanjutan, setidak-tidaknya jangan bertentangan dengan apa yang diberikan dalam keluarga.
Dalam pengertian yang sederhana, guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada peserta didik. Guru dalam pandangan masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan ditempat-tempat tertentu, tidak mesti di lembaga pendidikan formal, tetapi bisa juga di masjid, di surau atau mushola, dirumah dan sebagainya. Guru memang menempati kedudukan terhormat di masyarakat. Kewibawaanlah yang menyebabakan seorang guru dihormati, sehingga masyarakat tidak meragukan figur guru. Masyarakat yakin bahwa figur gurulah yang dapat mendidik peserta didik mereka agar menjadi orang yang berkepribadian mulia. Dalam Undang-undang guru dan dosen bab1 pasal 1 ayat (1).
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru merupakan salah satu dari key factor dalam pembelajaran. Sekolah telah membina anak tentang kecerdasan, sikap, minat, dan lain sebagainya dengan gaya dan caranya sendiri sehingga anak mentaatinya. Lingkungan yang positif yaitu lingkungan sekolah yang memberikan fasilitas dan motivasi untuk berlangsungnya system pembelajaran.
Sedangkan lingkungan sekolah yang netral dan kurang menumbuhkan jiwa anak untuk gemar beramal, justru menjadikan anak picik,dan berwawasan sempit. Sifat dan sikap ini menghambat pertumbuhan anak. Lingkungan sekolah yang negatif terhadap pendidikan agama yaitu lingkungan sekolah berusaha keras meniadakan kepercayaan agama di kalangan peserta didik. Tata tertib disekolah juga sangat mempengaruhi perkembangan anak, oleh karena itu disekolah harus menanamkan sikap disiplin kepada anak, karena kedisiplinan itu harus dimulai sejak dini.
Dari penjelasan di atas sudah jelas bahwa fungsi sekolah, yaitu sebagai lembaga yang memfasilitasi proses perkembangan anak secara menyeluruh sehingga mereka dapat berkembang secara optimal sesuai dengan harapan – harapan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat, serta berperan dalam hal pengembangan aspek sosiomoral dan emosi anak dengan kemampuan guru dalam mendidik dan karakteristik-karakteristik pribadi yang sesuai dalam lingkungan pendidikan dan masyarakat.
Sifat yang ditonjolkan oleh guru tidak lain ialah sifat yang baik karena permasalahan yang terpenting dalam interaksi pembelajaran ialah mengenai pendidikan moral “moral education” yang harus selalu ditunjukkan, terutama dalam pengaruh kehidupan sosial yang menjadi basis terbentuknya sebuah moralitas kehidupan. Yang mana dari kesemuanya merupakan pendukung terbentuknya moral, baik diterapkan oleh pendidik ataupun peserta didik dalam kehidupan.

1 komentar:

  1. Depo 20ribu bisa menang puluhan juta rupiah
    mampir di website ternama I O N Q Q
    paling diminati di Indonesia,
    di sini kami menyediakan 9 permainan dalam 1 aplikasi
    ~bandar poker
    ~bandar-Q
    ~domino99
    ~poker
    ~bandar66
    ~sakong
    ~aduQ
    ~capsa susun
    ~perang baccarat (new game)
    segera daftar dan bergabung bersama kami.Smile
    Whatshapp : +85515373217

    BalasHapus

PEMBUKUAN SECARA KOMPUTERISASI

Pengertian Komputerisasi Akuntansi dapat digambarkan sebagai sistem akuntansi yang menggunakan sistem komputer dan perangkat lunak akuntansi...