MASALAH PENDIDIKAN DI
INDONESIA
TENTANG PPDB
(PENERIMAAN PESERTA DIDIK BARU)
Sembilan
permasalahan PPDB zonasi itu dan harus dibenahi adalah:
1.
Penyebaran sekolah negeri yang tidak merata di tiap
kecamatan dan kelurahan, sementara banyak daerah yang pembagian zonasi pada
awalnya, di dasarkan pada wilayah administrasi kecamatan.
2.
Ada calon siswa yang tidak terakomodasi, karena tidak
bisa mendaftar ke sekolah manapun. Sementara ada sekolah yang kekurangan siswa,
karena letaknya jauh dari pemukiman penduduk
3.
Orangtua mengantre hingga menginap di sekolah, padahal
kebijakan PPDB zonasi dan sistem online, memastikan bahwa siswa di zona
terdekat dengan sekolah pasti diterima. Jadi meski mendapatkan nomor antrian 1,
namun jika domisili tempat tinggal jauh dari sekolah, maka peluangnya sangat
kecil untuk diterima.
4.
Minimnya sosialisasi sistem PPDB ke para calon peserta
didik dan orangtuanya, sehingga menimbulkan kebingungan. Sosialisasi seharusnya
dilakukan secara terstruktur, sistematis dan massif.
5.
Masalah kesiapan infrastruktur untuk pendaftaran secara
online.
6.
Transparansi kuota per zonasi yang sering menjadi
pertanyaan masyarakat, termasuk kuota rombongan belajar dan daya tampung. Permendikbud
51/2018 menentukan maksimal jumlah Rombel per kelas untuk SD 28, untuk SMP 32
dan untuk SMA/SMK 36 siswa.
7.
Penentuan jarak atau ruang lingkup zonasi yang kurang
melibatkan kelurahan, sehingga di PPDB tahun 2019 titik tolak zonasi dari
Kelurahan.
8.
Soal petunjuk teknis (juknis) yang kurang jelas dan
kurang dipahami masyarakat, dan terkadang petugas penerima pendaftaran juga
kurang paham.
9.
Karena jumlah sekolah negeri yang tidak merata di
setiap kecamatan maka beberapa pemerintah daerah membuat kebijakan menambah
jumlah kelas dengan sistem 2 shift (pagi dan siang).
Dampaknya, banyak
sekolah swasta di wilayah tersebut kekurangan peserta didik. Di khawatirkan,
kalau tidak dipikirkan maka sekolah swasta akan tutup. Di Magetan ada 27 SMK
swasta yang mana sekolah tersebut berlomba – lomba untuk mencari murid yang
sebanyak banyaknya, sebagian besar anak cenderung lebih memilih sekolah negeri
ketimbang swasta alasan mereka klasik yakni biaya lebih murah karena ditanggung
pemerintah dan calon siswa yang mengikuti grub teman sepermainannya, mereka
malu atau gengsi bila mereka tidak sekolah di tempat yang mereka anggap kurang
bonafit, walaupun sebenarnya sekolah negeri (SMK) dalam pelaksanaan PPDB tidak
sesuai dengan aturan, mereka membuka pendaftaran gelombang kedua untuk memenuhi
kelas mereka, bila ada siswa yang tidak diterima di jurusan yang mereka pilih
maka akan diturunkan atau dimasukkan ke jurusan yang masih belum memenuhi
kuota, malahan ada siswa yang jelas – jelas tidak diterima di sekolah tersebut
ditelpon lagi agar sekolah di sekolah tersebut secara otomatis calon siswa pun
mau mengikuti keputusan yang dibuat oleh sekolahan tersebut yang penting bisa
sekolah disitu dengan konsekuensi mereka sekolah tidak sesuai jurusan yang
mereka pilih sebelumnya demi gengsi mereka.
Sebenarnya dari
pemerintah sudah menerapkan sistem papan pagu tiap kelas tapi sekolah negeri
malah buka kelas baru agar siswa mereka dapat tertampung semakin banyak. Masalah
PPDB yang terjadi ini juga tidak terlepas karena adanya sertifikasi guru dimana
tiap guru harus memenuhi 24 jam agar bisa memperoleh sertifikasi serta dana BOS
(Bnatuan Operasional Sekolah) dan ini yang terbaru ada dana BPOPP (Biaya
Penunjang Operasional Penyelenggaraan Pendidikan) dimana kedua bantuan tersebut
dihitung berdasarkan jumlah siswa perkepala sehingga semua sekolah berlomba –
lomba mencari siswa sebanyak – banyaknya, bahkan mungkin bisa dikatakan sikut –
sikutan, sekolah negeri tidak memperhatikan sekolah swasta.
Antrian pendaftar
yang mengular di sekolah-sekolah yang dianggap favorit oleh masyarakat,
menunjukkan pemahaman masyarakat terkait prinsip zonasi dan online rendah atau
tidak dipahami. Salah satunya dipicu oleh banyak pesan di grup-grup WhatsApp
(WA) yang tidak benar. Contohnya pesan WA yang menyatakan sebagai berikut: “Disarankan
untuk mendaftar lebih awal karena, jika jarak zona, nilai UN dan USBN, serta
usia calon siswa sama, maka yang akan diterima adalah yang mendaftar terlebih
dahulu”. Kalimat terakhir dalam pesan itu sangat dipegang masyarakat dan jadi
panduan, padahal itu tak benar. Kalimat yang dimaksud adalah yang menyatakan
bahwa siswa “yang akan diterima adalah yang mendaftar terlebih dahulu”. Padahal
dengan sistem zonasi ini, sekalipun siswa atau ortu siswa datang lebih awal
atau mendapat nomor pendaftaran lebih dulu ke sekolah yang dituju, tetapi
domisili tempat tinggalnya jauh dari sekolah, maka peluang siswa diterima di
sekolah itu tetap kecil.
Sedangkan ortu
siswa yang mendapatkan nomor antrian pendaftaran belakangan atau misalnya
diatas 500, tetapi domisili tempat tinggalnya dekat dengan sekolah, maka
peluangnya diterima di sekolah negeri itu tetap sangat besar. Selain itu dengan
pendaftaran sistem online, sebenarnya pendaftar dapat melakukan pendaftaran
sendiri lewat situs atau website sekolah tanpa harus mengantri di sekolah. Kecuali
si pendaftar memang tidak bisa melakukan pendaftaran online karena tidak bisa
mengoperasikan computer, walaupun terkadang masih banyak yang servernya down.
Permendikbud Nomor
51 Tahun 2018 disebutkan bahwa domisili calon peserta didik ditentukan
berdasarkan alamat pada kartu keluarga yang diterbitkan paling singkat 1 (satu)
tahun sebelum pelaksanaan PPDB. Kartu keluarga dapat diganti dengan surat
keterangan domisili dari rukun tetangga atau rukun warga yang dilegalisir oleh
lurah/kepala desa setempat yang menerangkan bahwa peserta didik yang bersangkutan
telah berdomisili paling singkat 1(satu) tahun sejak diterbitkannya surat
keterangan domisili. Demikian juga dengan kelompok siswa dari masyarakat
prasejahtera, dimana harus melakukan verifikasi terlebih dahulu kepada sekolah
tempat mendaftar. Kepala Sekolah berkewajiban melakukan verifikasi faktual
tentang keberadaan keluarga prasejahtera. Untuk kelompok prasejahtera, selain
harus mematuhi zona domisili juga harus dibuktikan dengan kepemilikan Kartu
Indonesia Pintar (KIP), Peserta Program Keluarga Harapan (PKH), atau Memiliki
surat keterangan hasil verifikasi dari kepala sekolah tempat mendaftar. Sebab
sekarang tidak dikenal istilah Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang banyak
menjadi masalah seperti pada PPDB 2019.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar