Jumat, 21 Januari 2022

TRILOGI KEPEMIMPINAN SEBAGAI LANDASAN PEMBENTUKAN KARAKTER PESERTA DIDIK

Pendidikan selain mencakup proses transfer dan transmisi ilmu pengetahuan juga merupakan proses yang sangat strategis dalam menanamkan nilai dalam rangka pembudayaan anak manusia. Undang-Undang Sisdiknas 20/2003 menyatakan bahwa “pendidikan adalah usaha sadar serta terencana untuk mewujudkan suasana belajar serta proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang dibutuhkan dirinya, masyarakat, bangsa, serta negara“ (Sisdiknas, No. 20 tahun 2003). beranjak dari pernyataan tersebut, maka pendidikan tidak hanya bertujuan untuk menggali serta berbagi potensi dan  kecerdasan siswa, tetapi juga yang lebih ditekankan artinya pembentukan kepribadian dan  penanaman nilai-nilai budaya demi terbentuknya insan yang memiliki akhlak mulia.

Adanya fenomena mulai asal merosotnya moral peserta didik hingga keluarnya tindak kekerasan mengisyaratkan bahwa pendidikan karakter menjadi satu hal yang tidak boleh dikesampingkan dalam proses pembelajaran. kenyataan yg terjadi di rakyat artinya setiap perilaku serta sikap beringas yg tampak pada siswa senantiasa dikaitkan dengan kegagalan asal mata pelajaran agama (Tanu, 2010:159).

Pendidikan karakter telah menjadi sebuah model pendidikan yang ditawarkan dalam mengatasi masalah moral anak di Indonesia. Hal ini berhubungan dengan meningkatnya kenakalan remaja di masyarakat. Ki Hadjar Dewantara sebagai salah seorang tokoh penting dalam dunia pendidikan nasional di Indonesia telah banyak memberikan sumbangsih pemikirannya terhadap kemajuan pendidikan di Indonesia. Di dalam penelitian ini peneliti mengkaji pemikiran-pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan yang memiliki hubungan terhadap pendidikan karakter. Hasilnya adalah pemikiran-pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara mengarahkan kepada pentingnya peran sebuah lingkungan, tempat dimana karakter itu akan dibentuk, jiwa kepemimpinan dan saling membantu satu sama lain, serta tumbuhnya cinta kepada budaya bangsa agar dapat membentuk generasi-generasi penerus bangsa yang baik.

Pendidikan  karakter  telah  menjadi  sebuah  model  pendidikan  yang  ditawarkan  dalam  mengatasi masalah  moral  anak di  Indonesia.  Hal  ini berhubungan  dengan meningkatnya  kenakalan  remaja  di  masyarakat.  Ki  Hadjar  Dewantara sebagai  salah  seorang  tokoh  penting  dalam  dunia  pendidikan  nasional  di  Indonesia  telah  banyak  memberikan  sumbangsih  pemikirannya  terhadap  kemajuan  pendidikan  di  Indonesia.  Di  dalam  penelitian  ini  peneliti  mengkaji  pemikiran-pemikiran  Ki  Hadjar  Dewantara tentang pendidikan yang memiliki hubungan terhadap pendidikan karakter.  Hasilnya  adalah  pemikiran-pemikiran  pendidikan  Ki  Hadjar  Dewantara  mengarahkan  kepada  pentingnya  peran  sebuah  lingkungan,  tempat  dimana  karakter  itu  akan  dibentuk, jiwa kepemimpinan dan saling membantu  satu  sama  lain, serta tumbuhnya  cinta kepada budaya bangsa agar dapat membentuk generasi-generasi penerus bangsa  yang baik. Pendidikan  karakter  telah  menjadi  sebuah  model  pendidikan  yang  ditawarkan  dalam  mengatasi masalah  moral  anak di  Indonesia.  Hal  ini berhubungan  dengan meningkatnya  kenakalan  remaja  di  masyarakat.  Ki  Hadjar  Dewantara sebagai  salah  seorang  tokoh  penting  dalam  dunia  pendidikan  nasional  di  Indonesia  telah  banyak  memberikan  sumbangsih  pemikirannya  terhadap  kemajuan  pendidikan  di  Indonesia.  Di  dalam  penelitian  ini  peneliti  mengkaji  pemikiran-pemikiran  Ki  Hadjar  Dewantara tentang pendidikan yang memiliki hubungan terhadap pendidikan karakter.  Hasilnya  adalah  pemikiran-pemikiran  pendidikan  Ki  Hadjar  Dewantara  mengarahkan  kepada  pentingnya  peran  sebuah  lingkungan,  tempat  dimana  karakter  itu  akan  dibentuk, jiwa kepemimpinan dan saling membantu  satu  sama  lain, serta tumbuhnya  cinta kepada budaya bangsa agar dapat membentuk generasi-generasi penerus bangsa
yang baik.

Faktor-faktor Penyebab Kegagalan Pembentukan Karakter pada Peserta Didik

Adapun faktor-faktor penyebab kegagalan pembentukan karakter pada murid bisa dipilah-pilah sesuai lingkungan tempat anak tersebut mendapatkan proses pendidikannya, yakni, keluarga, sekolah, serta masyarakat.

1.      Keluarga

Keluarga merupakan daerah pertama dan  paling utama daerah anak mendapatkan penanaman karakter, dari sejak pada kandungan, hingga dewasa. pada hal ini, peran orang tua sebagai sangat penting, karena berasal orang tualah murid akan memperoleh pendidikan pertamanya. menurut Megawangi (2003:23) terdapat beberapa kesalahan orang tua dalam mendidik anak yang bisa menghipnotis perkembangan kecerdasan emosi anak sehingga membuahkan di pembentukan karakternya, yaitu :

  • Kurang membagikan aktualisasi diri kasih sayang baik secara lisan maupun fisik.
  • Kurang meluangkan saat yang cukup buat anaknya.
  • Bersikap kasar secara lisan, misalnya menyindir, mengecilkan anak, dan  berkata-istilah kasar.
  • Bersikap kasar secara fisik, misalnya memukul, mencubit, serta memberikan eksekusi badan lainnya
  • Terlalu memaksa anak buat menguasai kemampuan kognitif secara dini.
  • Tidak menanamkan "good character' pada anak.

Dampak yang disebabkan dari keliru asuh seperti diatas, dari Megawangi (2003:24) akan menghasilkan anak-anak yang memiliki kepribadian bermasalah atau memiliki kecerdasan emosi rendah, diantaranya :

  • Anak menjadi acuh tak acuh, tak butuh orang lain, serta tidak bisa mendapatkan persahabatan. karena sejak mungil mengalami kemarahan, rasa tidak percaya, dan  gangguan emosi negatif lainnya. saat dewasa ia akan menolak dukungan, simpati, cinta serta respons positif lainnya berasal orang di sekitarnya. la kelihatan sangat mandiri, namun tidak hangat serta tidak disenangi sang orang lain.
  • Secara emosiol tidak responsif, dimana anak yang ditolak akan tak bisa menyampaikan cinta pada orang lain.
  • Berperilaku agresif, yaitu selalu ingin menyakiti orang baik secara verbal maupun fisik.
  • Menjadi minder, merasa diri tidak berharga dan  bermanfaat.
  • Selalu berpandangan negatif pada lingkungan sekitarnya, mirip rasa tidak aman, khawatir, minder, curiga dengan orang lain, dan  merasa orang lain sedang mengkritiknya.
  • Ketidakstabilan emosional, yaitu tidak toleran atau tak tahan terhadap tertekan, praktis tersinggung, simpel marah, serta sifat yang tak dapat diprediksi sang orang lain.
  • Ketidakseimbangan antara perkembangan emosional dan  intelektual. dampak negatif lainnya dapat berupa mogok belajar, dan  bahkan dapat memicu kenakalan remaja, tawuran, dan  lainnya.
  • Orang tua yang tidak menyampaikan rasa aman serta terlalu menekan anak, akan membentuk anak merasa tidak dekat, dan  tidak menjadikan orang tuannya sebagai ”role” atau contoh. Anak akan lebih percaya pada "peer group"nya sehingga simpel terpengaruh dengan pergaulan negatif.

2.      Sekolah

Dalam proses pembelajaran di sekolah, tentu peranan energi pendidik lebih diutamakan, dalam membentuk hubungan yang serasi menggunakan siswa, serta menghasilkan kepribadian siswa seorang pengajar sebagai pendidik dituntut tidak hanya pintar dalam memberikan materi, tetapi lebih menekankan di pembentukan karakter siswa. dalam penyampaian materi yang terpenting adalah bagaimana pengajar mengarahkan siswa tidak hanya sekedar mengerti apa yang disampaikan, namun mampu mengaplikasikannya pada kehidupan sehari-hari murid. Wina Sanjaya (2010:92-93) menyatakan bahwa salah  satu kekeliruan pengajar pada mengajar adalah guru tidak mengajak berpikir pada peserta didik. Komunikasi terjadi satu arah, yaitu berasal guru ke siswa. pengajar menganggap bahwa bagi peserta didik menguasai bahan ajar lebih krusial dibandingkan akal budi serta bertindak. Orientasi pembelajaran lebih di penyampaian materi. Keberhasilan suatu proses pedagogi diukur dari sejauh mana peserta didik bisa menguasai materi pelajaran yang disampaikan pengajar. Kadang-kadang peserta didik tidak memahami apa gunanya menelaah bahan ajar.

3.      Masyarakat

Masyarakat ialah komunitas moral yang menyebarkan tanggung jawab untuk pendidikan berbagi karakter dan  setia dan  konsisten pada nilai dasar yang diusung bersama-sama. dalam lingkungan warga  terdapat sejumlah adat-tata cara yang ditaati beserta oleh seluruh anggota warga. Masyarakat artinya media bagi peserta didik pada berinteraksi dan  bersosialisasi dengan sesamanya. Simanjuntak (2003:156) menyatakan bahwa pada proses pengenalan seseorang individu asal masa anak-anak sampai masa tua selalu belajar pola-pola tindakan dalam interaksi menggunakan segala macam individu sekitarnya yang menduduki beraneka macam peranan sosial. dalam hal ini, adanya beberapa sikap menyimpang dalam anggota rakyat menjadi bentuk pelanggaran istiadat-norma akan mempengaruhi perkembangan kepribadian siswa dimana hal tadi bisa menjadi contoh yang cenderung diikuti dan  ditiru oleh siswa.

Trilogi Kepemimpinan

Ajaran kepemimpinan Ki Hadjar Dewantara yang populer di kalangan masyarakat adalah Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Seorang pemimpn harus memiliki ketiga sifat tersebut agar dapat menjadi panutan bagi bawahan atau anak buahnya. Ing Ngarso Sun Tulodo adalah menjadi seorang pemimpin harus mampu memberikan suri teladan bagi bawahan atau anak buahnya. Sebagai seorang pemimpin harus memiliki sikap dan perilaku yang baik di segala langkah dan tindakannya agar dapat menjadi panutan bagi anak buahnya atau bawahannya (Moh. Yamin, 2009: 194). 

Ing Madyo Mangun Karso adalah seorang pemimpin di tengah kesibukannya harus juga mampu membangkitkan atau menggugah semangat kerja anggota bawahannya. Oleh karenanya, seorang pemimpin juga harus mampu memberikan inovasi- inovasi di lingkungan tugasnya dengan menciptakan suasana kerja yang lebih kondusif dan dinamis untuk keamanan serta kenyamanan kerja. Demikian pula dengan Tut Wuri Handayani artinya memberikan dorongan moral atau dorongan semangat, sehingga seorang pemimpim harus memberikan dorongan mora dan semangat kerja dari belakang.

Secara tersirat berarti seorang figur pemimpin yang baik adalah yang tidak hanya dapat menjadi suri tauladan atau panutan bagi bawahan, tetapi juga harus mampu menggugah semangat dan memberikan dorongan moral dari belakang agar bawahan bisa melaksanakan tugas- tugas dan tanggung jawabnya secara utuh dan bukan paksaan, atau bukan karena mendapatkan tekanan maupun ancaman tertentu dari atasan. Hal tersebut sama halnya ketika konsep tersebut dimasukkan dalam dunia pendidikan sebagaimana yang dimaksud oleh Ki Hadjar Dewantara.

Semboyan dalam pendidikan yang beliau pakai adalah Tut Wuri Handayani. Semboyan ini berasal dari ungkapan aslinya yakni, Ing Ngarsa Sun Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Namun, ungkapan tut wuri handayani saja yang banyak dikenal dalam masyarakat umum. Arti ketiga semboyan tersebut secara lengkap adalah Tut Wuri Handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), Ing Madya Mangun Karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan Ing Ngarsa Sun Tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan baik) (Moh Yamin, 2009: 194-195). 

Ki Hadjar Dewantara menjelaskan lebih jauh dan detail bahwa biarkanlah anak didik mencari jalan sendiri selama mereka mampu dan bisa melakukan itu karena ini merupakan bagian dari pendidikan pendewasaan diri yang baik dan membangun.

Kemajuan anak didik, dengan membiarkan hal seperti itu, akan menjadi sebuah kemajuan sejati dan hakiki. Namun, kendatipun begitu, membiarkan mereka berjalan sendiri, bukan berarti tidak diperhatikan atau dipedulikan, pendidik harus mengawasi kemanakah mereka akan menempuh jalan. Pendidik hanya mengamati, memberi teguran, maupun arahan ketika mereka mengambil jalan yang salah dan keliru. Oleh karena itu, dengan menggunakan gagasan Ki Hadjar Dewantara, seorang pendidik harus mencerminkan sosok yang disenangi dan menjadi contoh terbaik bagi anak-anak didiknya. Seorang pendidik harus memiliki sikap dan tindakan yang bisa dilakukan oleh anak didiknya dengan sedemikian rupa dikemudian hari kelak, baik di lingkungan sekolah, keluarganya, maupun masyarakatnya.

Pendidikan diharapkan menjadi sosok yang mampu mengubah karakter anak didik dari beringas dan nakal menjadi lemah lembut dan penuh kesantunan tinggi. Perilaku dalam mendidik di ruangan kelas pun harus menampilkan sikap diri yang betul-betul membawa kebaikan perilaku sehari-hari bagi kehidupan anak-anak didiknya.Baik dan buruknya perilaku seorang anak didik bergantung pada bagaimana seorang pendidik memberikan pelajaran dan pengajaran dalam melakukan interaksi sosial baik dalam kelas di sekolah, maupun masyarakat serta keluarganya (Moh. Yamin, 2009: 196). Corak dan cara pendidikan menurut pandangan Ki Hadjar Dewantara patut kita jadikan sebagai acuan dalam pengembangan pendidikan karakter.

Corak pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara haruslah bersifat nasional. Artinya secara nasional pendidikan harus memiliki corak yang sama dengan tidak mengabaikan budaya lokal. Bangsa Indonesia yang terdiri dari banyak suku, ras, dan agama hendaknya memiliki kesamaan corak dalam mengembangkan karakter anak bangsanya. Hal ini penting untuk menghindari terjadinya konflik fisik sebagai akibat banyaknya perbedaan. Pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara bercorak nasional. Pada awalnya muncul dalam rangka mengubah sistem pendidikan kolonial menjadi sistem pendidikan nasional yang berdasarkan pada kebudayaan sendiri.

Pendidikan yang dicita-citakan oleh Ki Hadjar Dewantara adalah Pendidikan Nasional. Hal ini diinsyafi benar oleh Ki Hadjar Dewantara, bahwa perjuangan kemerdekaan bangsa harus didasari jiwa merdeka dan jiwa nasional dari bangsa itu. Hanya orang-orang yang berjiwa merdeka saja yang sanggup berjuang menuntut dan selanjutnya mempertahankan kemerdekaan. Syaratnya ialah Pendidikan Nasional, dan pendidikan merdeka pada anak-anak yang akan dapat memberi bekal kuat untuk membangun karakter bangsa. Cara mendidik menurut Ki Hadjar Dewantara disebutnyasebagai “peralatan pendidikan”. Menurut Ki Hadjar Dewantara cara mendidik itu amat banyak, tetapi terdapat beberapa cara yang patut diperhatikan, yaitu: memberi contoh (voorbeelt); pembiasaan (pakulinan, gewoontevorming); pengajaran (wulang-wuruk); laku (zelfbeheersching); pengalaman lahir dan batin (nglakoni, ngrasa). Cara pendidikan yang disebutkan di atas sangatlah tepat untuk membangun karakter anak bangsa. Pemberian contoh yang disertai dengan pembiasaan sangatlah tepat untuk menanamkan karakter pada peserta didik. Begitu juga pengajaran (wulangwuruk) yang disertai contoh tindakan (laku) akan mempermudah peserta didik dalam menginternalisasi nilai-nilai positif, sebagai bentuk perwujudan karakter. Apalagi disempurnakan dengan pengalaman lahir dan batin maka menjadi sempurnalah karakter peserta didik

KESIMPULAN

Ki Hadjar Dewantara mengarahkan kepada pentingnya peran sebuah lingkungan, tempat dimana karakter itu akan dibentuk, jiwa kepemimpinan dan saling membantu satu sama lain, serta tumbuhnya cinta kepada budaya bangsa agar dapat membentuk generasi-generasi penerus bangsa yang baik. Ki Hadjar Dewantara mengarahkan kepada pentingnya peran sebuah lingkungan, tempat dimana karakter itu akan dibentuk, jiwa kepemimpinan dan saling membantu satu sama lain, serta tumbuhnya cinta kepada budaya bangsa agar dapat membentuk generasi-generasi penerus bangsa yang baik. Ki Hadjar Dewantara mengarahkan kepada pentingnya peran sebuah lingkungan, tempat dimana karakter itu akan dibentuk, jiwa kepemimpinan dan saling membantu satu sama lain, serta tumbuhnya cinta kepada budaya bangsa agar dapat membentuk generasi-generasi penerus bangsa yang baik. Undang-Undang Sisdiknas 20/2003 menyatakan bahwa “pendidikan adalah usaha sadar serta terencana untuk mewujudkan suasana belajar serta proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang dibutuhkan dirinya, masyarakat, bangsa, serta negara“ (Sisdiknas, No. 20 tahun 2003). Di dalam penelitian ini peneliti mengkaji pemikiran-pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan yang memiliki hubungan terhadap pendidikan karakter. Di dalam penelitian ini peneliti mengkaji pemikiran-pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan yang memiliki hubungan terhadap pendidikan karakter. Di dalam penelitian ini peneliti mengkaji pemikiran-pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan yang memiliki hubungan terhadap pendidikan karakter. 

Pendidikan karakter telah menjadi sebuah model pendidikan yang ditawarkan dalam mengatasi masalah moral anak di Indonesia. Ki Hadjar Dewantara sebagai salah seorang tokoh penting dalam dunia pendidikan nasional di Indonesia telah banyak memberikan sumbangsih pemikirannya terhadap kemajuan pendidikan di Indonesia. Pendidikan karakter telah menjadi sebuah model pendidikan yang ditawarkan dalam mengatasi masalah moral anak di Indonesia.

 

DAFTAR PUSTAKA 

Megawangi, Ratna. 2003. Pendidikan Karakter untuk Membangun Masyarakat Madani. IPPK Indonesia Heritage Foundation (Online).

Sanjaya, Wina. 2010. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.

Simanjuntak, Posman. 2003. Antropologi. Jakarta: Erlangga.

Tanu, I Ketut. 2010. Konsep dan Makna Pembelajaran di Era Global. Denpasar: Sari Kahyangan Indonesia.

Undang-Undang Sisdiknas No.20 Tahun 2003. 2010. Jakarta: Bening.

Yamin, Moh. 2008. Menggugat Pendidikan Indonesia “Belajar dari Paulo Freire dan Ki Hadjar Dewantara. cet. ke-1.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PEMBUKUAN SECARA KOMPUTERISASI

Pengertian Komputerisasi Akuntansi dapat digambarkan sebagai sistem akuntansi yang menggunakan sistem komputer dan perangkat lunak akuntansi...