Pendidikan selain mencakup proses transfer dan transmisi ilmu pengetahuan juga merupakan proses yang sangat strategis dalam menanamkan nilai dalam rangka pembudayaan anak manusia. Undang-Undang Sisdiknas 20/2003 menyatakan bahwa “pendidikan adalah usaha sadar serta terencana untuk mewujudkan suasana belajar serta proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang dibutuhkan dirinya, masyarakat, bangsa, serta negara“ (Sisdiknas, No. 20 tahun 2003). beranjak dari pernyataan tersebut, maka pendidikan tidak hanya bertujuan untuk menggali serta berbagi potensi dan kecerdasan siswa, tetapi juga yang lebih ditekankan artinya pembentukan kepribadian dan penanaman nilai-nilai budaya demi terbentuknya insan yang memiliki akhlak mulia.
Adanya fenomena mulai asal merosotnya
moral peserta didik hingga keluarnya tindak kekerasan mengisyaratkan bahwa
pendidikan karakter menjadi satu hal yang tidak boleh dikesampingkan dalam
proses pembelajaran. kenyataan yg terjadi di rakyat artinya setiap perilaku
serta sikap beringas yg tampak pada siswa senantiasa dikaitkan dengan kegagalan
asal mata pelajaran agama (Tanu, 2010:159).
Pendidikan karakter telah menjadi sebuah
model pendidikan yang ditawarkan dalam mengatasi masalah moral anak di
Indonesia. Hal ini berhubungan dengan meningkatnya kenakalan remaja di
masyarakat. Ki Hadjar Dewantara sebagai salah seorang tokoh penting dalam dunia
pendidikan nasional di Indonesia telah banyak memberikan sumbangsih
pemikirannya terhadap kemajuan pendidikan di Indonesia. Di dalam penelitian ini
peneliti mengkaji pemikiran-pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan
yang memiliki hubungan terhadap pendidikan karakter. Hasilnya adalah
pemikiran-pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara mengarahkan kepada
pentingnya peran sebuah lingkungan, tempat dimana karakter itu akan dibentuk,
jiwa kepemimpinan dan saling membantu satu sama lain, serta tumbuhnya cinta
kepada budaya bangsa agar dapat membentuk generasi-generasi penerus bangsa yang
baik.
Pendidikan
karakter telah menjadi
sebuah model pendidikan
yang ditawarkan dalam
mengatasi masalah moral anak di
Indonesia. Hal ini berhubungan dengan meningkatnya kenakalan
remaja di masyarakat. Ki
Hadjar Dewantara sebagai salah
seorang tokoh penting
dalam dunia pendidikan
nasional di Indonesia
telah banyak memberikan
sumbangsih pemikirannya terhadap
kemajuan pendidikan di Indonesia. Di
dalam penelitian ini
peneliti mengkaji pemikiran-pemikiran Ki
Hadjar Dewantara tentang
pendidikan yang memiliki hubungan terhadap pendidikan karakter. Hasilnya
adalah pemikiran-pemikiran pendidikan
Ki Hadjar Dewantara
mengarahkan kepada pentingnya
peran sebuah lingkungan,
tempat dimana karakter
itu akan dibentuk, jiwa kepemimpinan dan saling
membantu satu sama
lain, serta tumbuhnya cinta
kepada budaya bangsa agar dapat membentuk generasi-generasi penerus bangsa yang baik. Pendidikan karakter
telah menjadi sebuah
model pendidikan yang ditawarkan dalam
mengatasi masalah moral anak di
Indonesia. Hal ini berhubungan dengan meningkatnya kenakalan
remaja di masyarakat. Ki
Hadjar Dewantara sebagai salah
seorang tokoh penting
dalam dunia pendidikan
nasional di Indonesia
telah banyak memberikan
sumbangsih pemikirannya terhadap
kemajuan pendidikan di Indonesia. Di
dalam penelitian ini
peneliti mengkaji pemikiran-pemikiran Ki
Hadjar Dewantara tentang
pendidikan yang memiliki hubungan terhadap pendidikan karakter. Hasilnya
adalah pemikiran-pemikiran pendidikan
Ki Hadjar Dewantara
mengarahkan kepada pentingnya
peran sebuah lingkungan,
tempat dimana karakter
itu akan dibentuk, jiwa kepemimpinan dan saling
membantu satu sama
lain, serta tumbuhnya cinta
kepada budaya bangsa agar dapat membentuk generasi-generasi penerus bangsa
yang baik.
Faktor-faktor Penyebab Kegagalan Pembentukan Karakter pada Peserta Didik
Adapun faktor-faktor penyebab kegagalan
pembentukan karakter pada murid bisa dipilah-pilah sesuai lingkungan tempat
anak tersebut mendapatkan proses pendidikannya, yakni, keluarga, sekolah, serta
masyarakat.
1.
Keluarga
Keluarga merupakan daerah pertama dan paling utama daerah anak mendapatkan penanaman karakter, dari sejak pada kandungan, hingga dewasa. pada hal ini, peran orang tua sebagai sangat penting, karena berasal orang tualah murid akan memperoleh pendidikan pertamanya. menurut Megawangi (2003:23) terdapat beberapa kesalahan orang tua dalam mendidik anak yang bisa menghipnotis perkembangan kecerdasan emosi anak sehingga membuahkan di pembentukan karakternya, yaitu :
- Kurang membagikan aktualisasi diri kasih sayang baik secara lisan maupun fisik.
- Kurang meluangkan saat yang cukup buat anaknya.
- Bersikap kasar secara lisan, misalnya menyindir, mengecilkan anak, dan berkata-istilah kasar.
- Bersikap kasar secara fisik, misalnya memukul, mencubit, serta memberikan eksekusi badan lainnya
- Terlalu memaksa anak buat menguasai kemampuan kognitif secara dini.
- Tidak menanamkan "good character' pada anak.
Dampak yang disebabkan dari keliru asuh seperti diatas, dari Megawangi
(2003:24) akan menghasilkan anak-anak yang memiliki kepribadian bermasalah atau
memiliki kecerdasan emosi rendah, diantaranya :
- Anak menjadi acuh tak acuh, tak butuh orang lain, serta tidak bisa
mendapatkan persahabatan. karena sejak mungil mengalami kemarahan, rasa tidak
percaya, dan gangguan emosi negatif lainnya. saat dewasa ia akan menolak
dukungan, simpati, cinta serta respons positif lainnya berasal orang di
sekitarnya. la kelihatan sangat mandiri, namun tidak hangat serta tidak
disenangi sang orang lain.
- Secara emosiol tidak responsif, dimana anak yang ditolak akan tak bisa menyampaikan
cinta pada orang lain.
- Berperilaku agresif, yaitu selalu ingin menyakiti orang baik secara verbal
maupun fisik.
- Menjadi minder, merasa diri tidak berharga dan bermanfaat.
- Selalu berpandangan negatif pada lingkungan sekitarnya, mirip rasa tidak
aman, khawatir, minder, curiga dengan orang lain, dan merasa orang lain
sedang mengkritiknya.
- Ketidakstabilan emosional, yaitu tidak toleran atau tak tahan terhadap
tertekan, praktis tersinggung, simpel marah, serta sifat yang tak dapat
diprediksi sang orang lain.
- Ketidakseimbangan antara perkembangan emosional dan intelektual.
dampak negatif lainnya dapat berupa mogok belajar, dan bahkan dapat
memicu kenakalan remaja, tawuran, dan lainnya.
- Orang tua yang tidak menyampaikan rasa aman serta terlalu menekan anak,
akan membentuk anak merasa tidak dekat, dan tidak menjadikan orang
tuannya sebagai ”role” atau contoh. Anak akan lebih percaya pada "peer
group"nya sehingga simpel terpengaruh dengan pergaulan negatif.
2.
Sekolah
Dalam proses pembelajaran di sekolah, tentu peranan energi pendidik lebih
diutamakan, dalam membentuk hubungan yang serasi menggunakan siswa, serta
menghasilkan kepribadian siswa seorang pengajar sebagai pendidik dituntut tidak
hanya pintar dalam memberikan materi, tetapi lebih menekankan di pembentukan
karakter siswa. dalam penyampaian materi yang terpenting adalah bagaimana
pengajar mengarahkan siswa tidak hanya sekedar mengerti apa yang disampaikan,
namun mampu mengaplikasikannya pada kehidupan sehari-hari murid. Wina Sanjaya
(2010:92-93) menyatakan bahwa salah satu kekeliruan pengajar pada
mengajar adalah guru tidak mengajak berpikir pada peserta didik. Komunikasi
terjadi satu arah, yaitu berasal guru ke siswa. pengajar menganggap bahwa bagi
peserta didik menguasai bahan ajar lebih krusial dibandingkan akal budi serta
bertindak. Orientasi pembelajaran lebih di penyampaian materi. Keberhasilan
suatu proses pedagogi diukur dari sejauh mana peserta didik bisa menguasai
materi pelajaran yang disampaikan pengajar. Kadang-kadang peserta didik tidak
memahami apa gunanya menelaah bahan ajar.
3.
Masyarakat
Masyarakat ialah komunitas moral yang menyebarkan tanggung jawab untuk
pendidikan berbagi karakter dan setia dan konsisten pada nilai
dasar yang diusung bersama-sama. dalam lingkungan warga terdapat sejumlah
adat-tata cara yang ditaati beserta oleh seluruh anggota warga. Masyarakat
artinya media bagi peserta didik pada berinteraksi dan bersosialisasi
dengan sesamanya. Simanjuntak (2003:156) menyatakan bahwa pada proses
pengenalan seseorang individu asal masa anak-anak sampai masa tua selalu
belajar pola-pola tindakan dalam interaksi menggunakan segala macam individu
sekitarnya yang menduduki beraneka macam peranan sosial. dalam hal ini, adanya
beberapa sikap menyimpang dalam anggota rakyat menjadi bentuk pelanggaran
istiadat-norma akan mempengaruhi perkembangan kepribadian siswa dimana hal tadi
bisa menjadi contoh yang cenderung diikuti dan ditiru oleh siswa.
Trilogi Kepemimpinan
Ajaran kepemimpinan Ki
Hadjar Dewantara yang populer di kalangan masyarakat adalah Ing Ngarso
Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Seorang pemimpn
harus memiliki ketiga sifat tersebut agar dapat menjadi panutan bagi bawahan
atau anak buahnya. Ing Ngarso Sun Tulodo adalah menjadi seorang
pemimpin harus mampu memberikan suri teladan bagi bawahan atau anak
buahnya. Sebagai seorang pemimpin harus memiliki sikap dan perilaku yang
baik di segala langkah dan tindakannya agar dapat menjadi panutan bagi
anak buahnya atau bawahannya (Moh. Yamin, 2009: 194).
Ing Madyo Mangun Karso
adalah seorang pemimpin di tengah kesibukannya harus juga mampu
membangkitkan atau menggugah semangat kerja anggota bawahannya. Oleh
karenanya, seorang pemimpin juga harus mampu memberikan inovasi- inovasi
di lingkungan tugasnya dengan menciptakan suasana kerja yang
lebih kondusif dan dinamis untuk keamanan serta kenyamanan kerja. Demikian
pula dengan Tut Wuri Handayani artinya memberikan dorongan moral atau
dorongan semangat, sehingga seorang pemimpim harus memberikan dorongan
mora dan semangat kerja dari belakang.
Secara tersirat berarti
seorang figur pemimpin yang baik adalah yang tidak hanya dapat menjadi
suri tauladan atau panutan bagi bawahan, tetapi juga harus mampu menggugah
semangat dan memberikan dorongan moral dari belakang agar bawahan bisa
melaksanakan tugas- tugas dan tanggung jawabnya secara utuh dan bukan
paksaan, atau bukan karena mendapatkan tekanan maupun ancaman tertentu
dari atasan. Hal tersebut sama halnya ketika konsep tersebut dimasukkan
dalam dunia pendidikan sebagaimana yang dimaksud oleh Ki Hadjar Dewantara.
Semboyan
dalam pendidikan yang beliau pakai adalah Tut Wuri Handayani. Semboyan ini
berasal dari ungkapan aslinya yakni, Ing Ngarsa Sun Tulada, Ing Madya
Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Namun, ungkapan tut wuri handayani saja
yang banyak dikenal dalam masyarakat umum. Arti ketiga semboyan tersebut
secara lengkap adalah Tut Wuri Handayani (dari belakang seorang guru harus
bisa memberikan dorongan dan arahan), Ing Madya Mangun Karsa (di tengah
atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan Ing
Ngarsa Sun Tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau
contoh tindakan baik) (Moh Yamin, 2009: 194-195).
Ki Hadjar Dewantara
menjelaskan lebih jauh dan detail bahwa biarkanlah anak didik mencari
jalan sendiri selama mereka mampu dan bisa melakukan itu karena
ini merupakan bagian dari pendidikan pendewasaan diri yang baik dan
membangun.
Kemajuan anak didik, dengan
membiarkan hal seperti itu, akan menjadi sebuah kemajuan sejati dan hakiki.
Namun, kendatipun begitu, membiarkan mereka berjalan sendiri, bukan berarti
tidak diperhatikan atau dipedulikan, pendidik harus mengawasi kemanakah mereka
akan menempuh jalan. Pendidik hanya mengamati, memberi teguran, maupun arahan
ketika mereka mengambil jalan yang salah dan keliru. Oleh karena itu, dengan
menggunakan gagasan Ki Hadjar Dewantara, seorang pendidik harus mencerminkan
sosok yang disenangi dan menjadi contoh terbaik bagi anak-anak didiknya.
Seorang pendidik harus memiliki sikap dan tindakan yang bisa dilakukan oleh
anak didiknya dengan sedemikian rupa dikemudian hari kelak, baik di lingkungan
sekolah, keluarganya, maupun masyarakatnya.
Pendidikan diharapkan
menjadi sosok yang mampu mengubah karakter anak didik dari beringas dan nakal
menjadi lemah lembut dan penuh kesantunan tinggi. Perilaku dalam mendidik di
ruangan kelas pun harus menampilkan sikap diri yang betul-betul membawa
kebaikan perilaku sehari-hari bagi kehidupan anak-anak didiknya.Baik dan
buruknya perilaku seorang anak didik bergantung pada bagaimana seorang pendidik
memberikan pelajaran dan pengajaran dalam melakukan interaksi sosial baik dalam
kelas di sekolah, maupun masyarakat serta keluarganya (Moh. Yamin, 2009: 196).
Corak dan cara pendidikan menurut pandangan Ki Hadjar Dewantara patut kita
jadikan sebagai acuan dalam pengembangan pendidikan karakter.
Corak pendidikan menurut
Ki Hadjar Dewantara haruslah bersifat nasional. Artinya secara nasional pendidikan
harus memiliki corak yang sama dengan tidak mengabaikan budaya lokal. Bangsa
Indonesia yang terdiri dari banyak suku, ras, dan agama hendaknya memiliki
kesamaan corak dalam mengembangkan karakter anak bangsanya. Hal ini penting
untuk menghindari terjadinya konflik fisik sebagai akibat banyaknya perbedaan.
Pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara bercorak nasional. Pada awalnya muncul
dalam rangka mengubah sistem pendidikan kolonial menjadi sistem pendidikan
nasional yang berdasarkan pada kebudayaan sendiri.
Pendidikan yang
dicita-citakan oleh Ki Hadjar Dewantara adalah Pendidikan Nasional. Hal ini
diinsyafi benar oleh Ki Hadjar Dewantara, bahwa perjuangan kemerdekaan bangsa
harus didasari jiwa merdeka dan jiwa nasional dari bangsa itu. Hanya orang-orang
yang berjiwa merdeka saja yang sanggup berjuang menuntut dan selanjutnya
mempertahankan kemerdekaan. Syaratnya ialah Pendidikan Nasional, dan pendidikan
merdeka pada anak-anak yang akan dapat memberi bekal kuat untuk membangun
karakter bangsa. Cara mendidik menurut Ki Hadjar Dewantara disebutnyasebagai
“peralatan pendidikan”. Menurut Ki Hadjar Dewantara cara mendidik itu amat
banyak, tetapi terdapat beberapa cara yang patut diperhatikan, yaitu: memberi
contoh (voorbeelt); pembiasaan (pakulinan, gewoontevorming); pengajaran
(wulang-wuruk); laku (zelfbeheersching); pengalaman lahir dan batin (nglakoni,
ngrasa). Cara pendidikan yang disebutkan di atas sangatlah tepat untuk
membangun karakter anak bangsa. Pemberian contoh yang disertai dengan
pembiasaan sangatlah tepat untuk menanamkan karakter pada peserta didik. Begitu
juga pengajaran (wulangwuruk) yang disertai contoh tindakan (laku) akan
mempermudah peserta didik dalam menginternalisasi nilai-nilai positif, sebagai
bentuk perwujudan karakter. Apalagi disempurnakan dengan pengalaman lahir dan
batin maka menjadi sempurnalah karakter peserta didik
KESIMPULAN
Ki Hadjar Dewantara
mengarahkan kepada pentingnya peran sebuah lingkungan, tempat dimana karakter
itu akan dibentuk, jiwa kepemimpinan dan saling membantu satu sama lain, serta
tumbuhnya cinta kepada budaya bangsa agar dapat membentuk generasi-generasi
penerus bangsa yang baik. Ki Hadjar Dewantara mengarahkan kepada pentingnya
peran sebuah lingkungan, tempat dimana karakter itu akan dibentuk, jiwa kepemimpinan
dan saling membantu satu sama lain, serta tumbuhnya cinta kepada budaya bangsa
agar dapat membentuk generasi-generasi penerus bangsa yang baik. Ki Hadjar
Dewantara mengarahkan kepada pentingnya peran sebuah lingkungan, tempat dimana
karakter itu akan dibentuk, jiwa kepemimpinan dan saling membantu satu sama
lain, serta tumbuhnya cinta kepada budaya bangsa agar dapat membentuk
generasi-generasi penerus bangsa yang baik. Undang-Undang Sisdiknas 20/2003
menyatakan bahwa “pendidikan adalah usaha sadar serta terencana untuk
mewujudkan suasana belajar serta proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang dibutuhkan dirinya, masyarakat, bangsa, serta negara“
(Sisdiknas, No. 20 tahun 2003). Di dalam penelitian ini peneliti mengkaji
pemikiran-pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan yang memiliki
hubungan terhadap pendidikan karakter. Di dalam penelitian ini peneliti
mengkaji pemikiran-pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan yang
memiliki hubungan terhadap pendidikan karakter. Di dalam penelitian ini
peneliti mengkaji pemikiran-pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan
yang memiliki hubungan terhadap pendidikan karakter.
Pendidikan karakter
telah menjadi sebuah model pendidikan yang ditawarkan dalam mengatasi masalah
moral anak di Indonesia. Ki Hadjar Dewantara sebagai salah seorang tokoh
penting dalam dunia pendidikan nasional di Indonesia telah banyak memberikan
sumbangsih pemikirannya terhadap kemajuan pendidikan di Indonesia. Pendidikan
karakter telah menjadi sebuah model pendidikan yang ditawarkan dalam mengatasi
masalah moral anak di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Megawangi, Ratna. 2003. Pendidikan Karakter untuk Membangun
Masyarakat Madani. IPPK Indonesia Heritage Foundation (Online).
Sanjaya, Wina. 2010. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar
Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Simanjuntak, Posman. 2003. Antropologi. Jakarta: Erlangga.
Tanu, I Ketut. 2010. Konsep dan Makna Pembelajaran di Era Global. Denpasar:
Sari Kahyangan Indonesia.
Undang-Undang Sisdiknas No.20 Tahun 2003. 2010. Jakarta: Bening.
Yamin, Moh. 2008. Menggugat Pendidikan Indonesia “Belajar dari
Paulo Freire dan Ki Hadjar Dewantara. cet. ke-1.Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar