Kamis, 09 April 2020

Pendidikan Moral dan Karakter


A.    Hakikat Karakter
Karakter berasal dari bahasa yunani charassein, yang berarti mengukir. Sifat utama ukiran adalah melekat kuat di atas benda yang diukir. Menghilangkan ukiran sama saja dengan menghilangkan benda yang diukir itu, karena ukiran melekat dan menyatu dengan bendanya.
Wardani (2008) menyatakan bahwa karakter itu merupakan ciri khas seseorang, dan karakter tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial budaya karena karakter terbentuk dalam lingkungan sosial budaya tertentu.
Hamid, M (2008) bahwa karakter merupakan sikap mendasar, khas, dan unik yang mencerminkan hubungan timbal balik dengan suatu kecakapan terbaik seseorang dalam pekerjaan atau keadaan.
Abdullah Munir (2010) menyatakan bahwa sebuah pola, baik itu pikiran, sikap, maupun tindakan, yang melekat pada diri seseorang dengan sangat kuat dan sulit dihilangkan disebut sebagai karakter.
Tapi pada kenyataannya kita sering mendapati seorang anak yang di usia kecilnya rajin beribadah, hidup teratur, disiplin dan selalu berprestasi di sekolahnya, serta patuh terhadap orang tuanya. Namun setelah sekian lama kita bertemu kembali dengannya di usia dewasa, kita tidak melihat lagi sifat-sifat yang telah melekat yang pernah melekat di usia kecilnya. Sebaliknya, kita melihat bahwa sifatnya berubah seratus delapan puluh derajat. Dia sudah tidak memiliki sifat seperti dulu di usia kecilnya, tidak pernah mengerjakan solat, dia seorang pemabuk, dan hidupnya tidak teratur. Hal ini terjadi nampaknya perjalanan hidup telah mengubah semua sifat baiknya itu.
Sebaliknya, banyak juga kita temui orang yang di usia mudanya memiliki sifat-sifat yang buruk, tapi dengan adanya nasihat yang terus menerus orang tersebut dapat berubah, tapi hanya sesaat saja. Pada suatu saat orang tersebut kembali dengan sifat-sifat buruknya. Inilah karakter, melekat kuat dan sulit untuk diubah.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa karakter seseorang itu tidak dapat dirubah. Namun demikian, kondisi lingkungan atau perjalanan hidup seseorang dapat membentuk karakter untuk menjadi lebih baik atau menjadi lebih buruk.
B.     Pendidikan Karakter
Istilah karakter dimaknai sebagai “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak” (Depdiknas, 2010) . Adapun berkarakter diartikan sebagai berkepribadian, berperilaku,  bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Musfiroh (2008) karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan cara mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang sikap dan perilakunya sesuai dengan kaidah moral yang berlaku dalam masyarakat termasuk individu yang berkarakter mulia.
Karakter mulia merupakan sikap, cara pandang dan perilaku individu yang memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib.
Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut (Kemdiknas, 2010). Karakter individu yang mulia yang ditandai dengan nilai-nilai moral yang mendasar sebagai ciri khas yang dimiliki (karakteristik). Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku). Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).
Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu pendidik, karyawan, kebijakatan, asesoris, media komunikasi, isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan kokurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Menurut David & Freddy (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values.
When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan pendidik, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Pendidik membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku pendidik, cara pendidik berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana pendidik bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Menurut Hidayat (2000) pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan anggota masyarakat yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan anggota masyarakat yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan sistem nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya yang berkembang pada masyarakat sendiri, dalam upaya membina sikap dan kepribadian anggota masyarakat.
Pengkajian ilmiah tentang perkem-bangan moral dan pembentukan karakter terus meluas setidaknya sejak Aristoteles dan terus sampai zaman modern (Nucci, 1989). Dalam beberapa tahun terakhir, pendidikan karakter telah dilihat sebagai fungsi utama dari institusi pendidikan. Sebagai contoh, filsuf John Locke, abad ke-17 Inggris, menganjurkan pendidikan seba-gai pendidikan bagi pengembangan karakter. Tema ini dilanjutkan pada abad ke- 19 oleh filsuf Inggris John Stuart Mill (misalnya, "pengembangan karakter adalah solusi untuk masalah-masalah sosial dan cita-cita pendi-dikan yang layak," Miller & Kim, 1988) dan Herbert Spencer (misalnya, "pendidikan untuk nya objek pembentukan karakter, "Purpel & Ryan, 1976). Pendidikan Amerika telah memiliki fokus pada pengembangan karakter dari awal. Filsuf Amerika, John Dewey, seorang filsuf dan pendidik berpengaruh awal abad 20, melihat pendi-dikan moral sebagai pusat misi sekolah (Dewey, 1934).
Namun, sejak tahun 1930-an pendidi-kan Amerika semakin berpaling dari pendi-dikan karakter sebagai fokus utama (Power, Higgens & Kohlberg, 1989). Hal ini terlepas dari kenyataan bahwa baik pendidik dan publik percaya bahwa pendidikan karakter menjadi aspek penting dari sekolah. Tujuan sekolah umum adalah untuk :
a)      Mengembangkan keterampilan dalam membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan;
b)      Mengembangkan kebanggaan dalam pekerjaan dan perasaan harga diri, dan
c)      Mengembangkan karakter yang baik dan harga diri.
Dalam hal mendefinisikan karakter yang baik, pendidik menyatakan bahwa ini harus mencakup pengembangan:
1)   Tanggung jawab moral dan perilaku etis dan dorongan moral;
2)   Kapasitas untuk disiplin;
3)   Tanggungjawab moral dan etis dari nilai-nilai, tujuan, dan proses dari suatu masyarakat yang bebas;
4)   Standar karakter pribadi dan ide.
Dalam kebanyakan kasus, psikologi pendidikan memfokuskan pada individu, dipisahkan dari konteks sosial. Selain itu, pendidikan modern telah sangat dipengaruhi oleh pendekatan perilaku, yang telah terbuk-ti mahir dalam mengembangkan metode pembelajaran bahwa pencapaian dampak yang diukur oleh tes standar. Menurut pendapat sebagian besar peneliti di bidang karakter dan perkembangan moral (missal-nya, Lickona, 1991; Nucci, 1989), pene-kanan tambahan harus ditempatkan pada filosofis. Dua tujuan pendidikan yang paling diinginkan oleh publik dan pendidik adalah :
-          kompetensi akademik dan pengembangan karakter
-          tidak saling eksklusif, tetapi komplementer (Wynne & Walberg, 1985).
Kompetensi memungkinkan karakter untuk diwujudkan dalam bentuk tertinggi dan sebaliknya. Sebagai contoh, Stallings (1978) menemukan dampak positif dari upaya untuk meningkatkan prestasi siswa pada kemerdekaan, ketekunan tugas, dan kerjasama. Etzioni (1984) dan Ginsburg dan Hanson (1986) melaporkan bahwa siswa yang disiplin atau yang lebih religius, pekerja keras, atau dihargai dalam belajar mencetak prestasi lebih tinggi pada saat tes. Kagan (1981) dan Wynne dan Walberg (1985) berpendapat bahwa pendidikan seharusnya lebih difokuskan karakter yang baik karena tujuan dalam jangkauan anak-anak lebih dari prestasi akademis yang tinggi.
Relatif kurangnya minat dalam pendi-dikan karakter dalam tiga dekade terakhir telah mulai berubah (Lickona, 1990). Membangun karakter (character building) dirancang untuk meningkatkan pengem-bangan karakter di sekolah. Tujuan membangun karakter secara pada hakiklat-nya adalah :
1) Untuk meningkatkan kesadaran nasional tentang pentingnya prog- ram-program pengembangan karak-ter di sekolah-sekolah demi keber-hasilan berkelanjutan dan stabilitas masyarakat, dan
2)   Untuk mendorong pendirian dan peningkatan program-program pe- ngembangan karakter di lembaga pendidikan.
Karakter sering disamakan artinya dengan akhlak, adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu terkait dengan nilai benar­salah dan nilai baik­buruk, sehingga karakter yang akan muncul menjadi kebiasaan yang termanifestasi dalam sikap dan perilaku untuk selalu melakukan hal yang baik secara terus menerus. Karakter terkait dengan nilai­nilai kebaikan, sehingga pendidikan karakter selalu dikaitkan dengan pendidikan nilai. Untuk itu, ketercapaian tujuan pendidikan karakter tercermin dalam pengetahuan, sikap, dan perilaku anak yang berdasar pada nilai­nilai kebaikan, nilai­nilai kebaikan yang dimaksud adalah nilai­nilai moral yang bersumber pada hati nurani dan bersifat universal.
Istilah nilai, moral, dan budi pekerti  sangat berkaitan. Pendidikan nilai mencakup kawasan budi pekerti,  norma,  dan  moral.  Nilai yang berdasarkan norma disebut sebagai nilai moral. Budi pekerti adalah perilaku yang berdasarkan nilai moral dan merupakan buah dari budi nurani. Budi nurani bersumber pada moral. Beberapa literatur mengungkapkan bah­ wa pendidikan budi pekerti memiliki esensi  dan makna dengan pendidikan moral atau pendidikan akhlak, tujuannya adalah membentuk pribadi anak supaya menjadi warga negara yang baik. Pendidikan budi pekerti dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai­nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa sendiri.
Pendidikan budi pekerti merupakan pendidikan tentang etika hidup berdasarkan nalar dan hati nurani, yakni proses pendidikan yang ditujukan untuk mengembangkan nilai, sikap, dan perilaku luhur yang terus dilakukan di lingkungan baik di dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat supaya anak tumbuh menjadi individu yang berakhlak mulia. Lebih lanjut dapat diperjelas bahwa terminologi ”karakter” itu sendiri sedikitnya memuat dua hal: values (nilai­nilai) dan kepribadian. Suatu karakter merupakan cerminan dari nilai apa yang melekat dalam sebuah entitas.
”Karakter yang baik” pada gilirannya adalah suatu penampakan dari nilai yang baik pula yang dimiliki oleh orang atau sesuatu, di luar persoalan apakah ”baik” sebagai sesuatu yang ”asli” ataukah sekadar kamuflase. Kajian pendidikan karakter bersentuhan dengan wilayah filsafat moral atau etika yang bersifat universal, seperti kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab. Pendidikan karakter sebagai pendidikan nilai menjadikan upaya eksplisit mengajarkan nilai­nilai, untuk membantu siswa mengembangkan disposisi­dis­ posisi guna bertindak dengan cara­cara yang pasti (Curriculum Corporation, 2003:33).
Persoalan baik dan buruk, kebajikan­kebajikan, dan keutamaan­keutamaan menjadi aspek penting dalam pendidikan karakter semacam ini. Sebagai aspek kepribadian, karakter merupakan cerminan dari  kepribadian  secara  utuh dari seseorang: mentalitas, sikap dan perilaku. Pendidikan karakter semacam ini lebih tepat sebagai pendidikan budi pekerti. Pembelajaran tentang tata­krama, sopan santun, dan adat­ istiadat, menjadikan pendidikan karakter se­ macam ini lebih menekankan kepada perilaku­ perilaku aktual tentang bagaimana seseorang dapat disebut berkepribadian baik atau tidak baik berdasarkan norma­norma yang bersifat kontekstual dan kultural.
C.    Urgensi Pendidikan Karakter
Ada beberapa hal yang menjadi penyebab penyimpangan karakter, sehingga pemerintah merasa perlu untuk ‘membangkitkan kembali’ pendidikan karakter di sekolah: Pertama, karena metode pembelajaran yang tidak sesuai. Tidak dipungkiri, metode pembelajaran dengan cera­ mah paling banyak dipakai oleh para pendidik kita. Padahal menurut penelitian, siswa yang belajar dengan hanya mendengarkan penje­ lasan guru, akan sedikit sekali menyerap informasi. Sehingga, jika nilai­nilai karakter itu ditransfer kepada siswa melalui ceramah, kecil kemungkinan akan tertanam di dalam otaknya, apalagi diaplikasikan dalam kehidupan.
Kedua, kebanyakan para pendidik menitik beratkan kepada nilai­nilai kognitif, sedangkan nilai­nilai afektif diabaikan. Hal inilah yang diduga kuat menjadi penyebab tergerusnya karakter para peserta didik. Ketiga, peserta didik lebih banyak menghafal daripada memahami.  Meskipun hafal kalau tidak faham, pasti akan lupa, apalagi bisa diterapkan. Pemahaman akan nilai­nilai yang baik tidak bisa dilakukan melalui hafalan, melainkan harus dilakukan dan dipraktikkan. Peserta didik akan mengingatnya sepanjang masa sebagai suatu pengalaman yang tidak  akan terlupakan.
Keempat, serbuan budaya asing yang begitu dahsyat sehingga mampu meng­ hancurkan benteng moral dan agama para generasi kita. Budaya asing yang belum tentu sesuai, dipakai dan ditiru begitu saja tanpa melalui filter. Sehingga budaya yang baik dan yang tidak baik bercampur bahkan mendominasi dan menghilangkan budaya asli. Koesoma (2007:250) mengungkapkan bahwa pendidikan karakter merupakan nilai­nilai dasar yang harus dihayati jika sebuah masyarakat mau hidup dan bekerja sama secara damai. Nilai­nilai seperti kebijaksanaan, penghormatan terhadap yang lain, tanggung jawab pribadi, perasaan senasib, sependeritaan, pemecahan konflik secara damai, merupakan nilai­nilai yang semestinya diutamakan dalam pendidikan karakter.
Pendidikan karakter mengangkat nilai­nilai universal yang dapat diterima oleh latar belakang agama, budaya, dan tradisi yang berbeda, tidak sekedar mengangkat teori semata namun juga aplikasinya di masyarakat. Pendidikan karakter dimaksudkan sekaligus sebagai pembentukan karakter. Usaha pendidikan dan pembentukan karakter yang dimaksud tidak terlepas dari pendidikan dan penanaman moral atau nilai­ nilai kepada peserta didik. Pendidikan karakter itu sendiri merupakan sebuah proses panjang, yaitu proses pembelajaran untuk menanamkan nilai­nilai luhur, budi pekerti, akhlak mulia  yang berakar pada ajaran agama, adat istiadat, dan nilai­nilai keindonesiaan dalam rangka mengembangkan kepribadian peserta didik supaya menjadi manusia yang bermartabat, menjadi warga bangsa yang berkarakter sesuai dengan nilai­nilai luhur bangsa dan agama.
Ekowarni (Ghufron, 2010:14­15) juga mengung­ kapkan bahwa karakter merupakan nilai dasar perilaku yang menjadi acuan tata nilai inter­  aksi antar manusia (when character is lost then everything is lost). Secara universal berbagai karakter dirumuskan sebagai nilai hidup ber­ sama berdasarkan atas pilar: kedamaian (peace), menghargai (respect), kerjasama (cooperation), kebebasan (freedom), kebahagiaan (happiness), kejujuran (honesty), kerendahan hati (humility), kasih sayang (love), tanggung jawab (responsibility), kesederhanaan (simplicty), toleransi (tolerance), dan persatuan (unity).
Dengan demikian pendidikan karakter penting dan mendesak untuk dilakukan pada saat ini karena hasil pendidikan tidak sesuai dengan tujuan pendidikan, apalagi melihat fenomena dikalangan remaja. Dekadensi moral semakin meningkat disebabkan pendidikan tidak me­ nyentuh aspek afektif, sehingga perilaku siswa tidak mencerminkan manusia yang memiliki karakter baik. Kecenderungan yang ada hanyalah siswa cerdas tetapi memiliki emosi tumpul.
Oleh karena itu, guru perlu mendidik siswa  agar memiliki karakter positif. Untuk itulah diperlukan guru yang dapat mengupayakan pen­ didikan karakter agar siswa memiliki karakter positif. Seperti yang diungkapkan oleh Lickona (1992:53) bahwa memiliki pengetahuan nilai moral itu tidak cukup untuk menjadi manusia berkarakter, nilai moral harus disertai dengan adanya karakter bermoral. Termasuk dalam karakter ini ada tiga komponen karakter, yaitu pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling), dan perbuatan bermoral (moral actions).
Pendidikan karakter bertujuan memfasi­ litasi siswa agar mampu menggunakan pengetahuan, mengkaji dan menginternalisasi serta memersonalisasikan nilai, mengembangkan keterampilan sosial yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya akhlak mulia dalam diri siswa serta mewujudkanya dalam perilaku sehari­hari, dalam berbagai konteks sosial budaya yang berbhineka sepanjang hayat (Zuriah, 2008:6–65). Sementara itu Sjarkawi (2006:39) mengatakan pendidikan karakter bertujuan membina terbentuknya perilaku siswa yang baik bagi setiap orang. Artinya, pendidikan nilai karakter bukan sekadar memahami tentang aturan benar dan salah atau mengetahui tentang ketentuan baik dan buruk, tetapi harus benar­ benar meningkatkan perilaku moral seseorang.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat di­ simpulkan bahwa tujuan utama pendidikan karakter adalah untuk memfasilitasi siswa agar mampu menggunakan pengetahuan, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai, mengembangkan keterampilan sosial yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya akhlak mulia dalam diri siswa serta mewujud­ kannya dalam perilaku sehari­hari.
D.    Peran Sekolah Dalam Pembentukan Karakter
Ada dua lembaga yang berperan mengajarkan pendidikan budi pekerti, yaitu lembaga formal dan nonformal, secara  formal  pendidikan moral dilakukan oleh sekolah dan nonformal oleh keluarga dan masyarakat. Pendidikan moral melalui keluarga, peran orang tua sangat dominan dalam menanamkan nilai­nilai moral dan diseuaikan dengan tumbuh kembang jiwa anak. Anak­anak akan patuh pada perintah orang tuanya untuk melakukan yang baik. Sedang pendidikan moral melalui masyarakat biasanya berupa norma sosial, seperti norma kesopanan, norma agama, norma kesusilaan dan norma hukum.
Pendididikan moral di sekolah dilakukan oleh seluruh stakeholder di sekolah dengan tuju­an untuk membentuk peserta didik memiliki moral yang luhur, berakhlak mulia, agar kelak berguna bagi  bangsa  dan  negara.  Namun,  dari semua komponen sekolah, yang paling berperan menyukseskan program pendidikan berbasis karakter di sekolah, adalah guru sebab tugas utama guru menurut UU No. 14 tahun 2005, ialah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Lebih lanjut Borich (Irene, 2010:53) menyebutkan bahwa perilaku mengajar guru yang baik dalam proses belajar mengajar di kelas dapat ditandai dengan adanya kemampuan penguasaan materi pelajaran, ke­ mampuan penyampaian materi pelajaan, keterampilan pengelolaan kelas, kedisiplinan, antusiasme, kepedulian, dan keramahan guru terhadap siswa.
Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, Ki Hajar Dewantara yang mengungkapkan bahwa, pada dasarnya pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (karakter, kekuatan bathin), pikiran (intellect), dan jasmani anak­anak selaras dengan alam dan masyarakatnya. Dari pendapat Ki Hajar Dewantara tersebut, dapat dengan jelas dimaknai bahwa pendidikan yang seutuhnya ialah pendidikan yang tidak hanya mencerdaskan pikiran tetapi juga membentuk karakter yang bermoral.
Konsep  penanaman  pendidikan  karakter  di sekolah dapat mengacu pada grand design pembelajaran pendidikan karakter. Acuan yang telah ditetapkan Kemendiknas terkait pendidikan karakter adalah pengelompokan konfigurasi karakter, yakni olah hati, olah pikir, olah raga, dan olah rasa­karsa. Olah hati bermuara pada pengelolaan  spiritual  dan  emosional,  olah pikir bermuara pada pengelolaan intelektual, olah raga bermuara pada pengelolaan fisik, sedangkan olah rasa bermuara pada pengelolaan kreativitas, keempat konfigurasi penanaman pendidikan karakter tersebut harus terkandung dalam rancangan kegiatan pembelajaran, dan tidak boleh melenceng dari acuan Kemendiknas itu.
Proses selanjutnya untuk pengembangan pendidikan karakter adalah kemampuannya untuk melewati tiga tahapan penting, yakni pe­ ngetahuan, pelaksanaan, dan kebiasaan. Tiga tahapan ini tidak boleh diabaikan, pengembangan pendidikan karakter dalam suatu sistem pen­ didikan tetap harus selalu memperhatikan keterkaitan antar komponen karakter setiap siswa, terutama terkait perilakunya. Tiga tahap pembentukan karakter, yaitu sebagai berikut.
1.    Moral Knowing : Memahamkan dengan baik pada anak tentang arti kebaikan. Mengapa harus berperilaku baik. Untuk apa berperilaku baik dan apa manfaat berperilaku baik.
2.    Moral Feeling : Membangun kecintaan berperi­ laku baik pada anak yang akan menjadi sumber energi anak untuk berperilaku baik. Membentuk karakter adalah dengan cara menumbuhkannya.
3.    Moral Action: Bagaimana membuat penge­ tahuan moral menjadi tindakan nyata. Moral action ini merupakan outcome dari dua tahap sebelumnya dan harus dilakukan berulang­ ulang agar menjadi moral behavior.
Dengan tiga tahapan ini, proses pembentukan karakter akan jauh dari kesan dan praktik doktrinasi yang menekan, justru sebaliknya, siswa akan mencintai berbuat baik karena dorongan internal dari dalam dirinya sendiri. Pendidikan karakter diintegrasikan melalui semua mata pelajaran di sekolah, mengingat ke­ lemahan dalam pelaksanaan pendidikan akhlak dan budi pekerti melalui dua mata pelajaran, yaitu Pendidikan Agama dan Pendidikan Ke­ warganegaraan. Oleh karena itu, telah diupaya­ kan inovasi pendidikan karakter, seperti tampak pada uraian berikut :
1.    Pendidikan karakter dilakukan secara ter­ integrasi ke dalam semua mata pelajaran Integrasi yang dimaksud meliputi pemuatan nilai­nilai ke dalam substansi pada semua mata pelajaran (MK) dan pelaksanaan ke­ giatan pembelajaran yang memfasilitasi dipraktikkannya nilai­nilai dalam setiap aktivitas di dalam dan di luar kelas untuk semua mata pelajaran.
2.    Pendidikan  karakter  juga   diintegrasikan ke dalam pelaksanaan kegiatan pembinaan peserta didik.
3.    Selain itu, pendidikan karakter dilaksanakan melalui kegiatan pengelolaan semua urusan di sekolah yang melibatkan semua warga sekolah (Kemdiknas, 2010).
Dari ketiga bentuk inovasi di atas yang paling penting dan langsung bersentuhan de­ ngan aktivitas pembelajaran sehari­hari adalah pengintegrasian pendidikan karakter dalam pro­ ses pembelajaran. Integrasi pendidikan karakter di dalam proses pembelajaran dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi pembelajaran pada semua mata pelajaran.
Untuk melaksanakan semua itu, tentunya diperlukan guru berkarakter untuk menghasilkan siswa berkarakter. Meski diperlukan kesabaran dan ketekunan, menghasilkan anak didik yang berakhlak dan berkarakter baik tentunya sangat membahagiakan, karena menjadi penyebab seseorang mendapatkan kebaikan itu lebih baik dari dunia dan seisinya.
E.     Strategi Internalisasi Pendidikan Karakter
Kirschenbaum (Zuchdi, 2009:61–62)) menyaji­ kan 100 cara yang dikelompokkan menjadi empat strategi, yaitu inkulkasi, teladan, fasilitasi, dan pengembangan keterampilan untuk internalisasi pendidikan karakter.
1.        Inkulkasi, merupakan suatu istilah sebagai lawan indoktrinasi. Ciri­ciri inkulkasi antara lain: mengemukakan keyakinan disertai alas­ an, memperlakukan pihak lain secara adil, menghargai pandangan yang berbeda, tidak secara berlebihan mengontrol lingkungan, menciptakan pengalaman belajar yang positif secara sosial dan emosional, menerapkan peraturan, penghargaan dan hukuman yang masuk akal, tidak memutuskan hubungan dengan orang yang tidak setuju, dan mem­ berikan tempat bagi perilaku yang berbeda­ beda dan yang perilakunya tidak dapat diterima diberi kesempatan untuk berubah, tidak dikucilkan.
2.        Pemberian teladan hanya mungkin dilaku­ kan jika para guru memiliki perilaku yang patut diteladani, sedang para murid mau mempelajari kesolehan (keluhuran budi pekerti) tokoh­tokoh masa lalu, terutama para nabi. Yang diharapkan dari para guru adalah konsistensi dalam berperilaku baik, penuh perhatian, adil, toleran, dan bertanggung jawab. Mereka juga diharapkan rajin belajar, mematuhi aturan dan kebijakan sekolah, berperilaku baik terhadap sesama guru, murid, dan orang tua murid. Di samping itu para guru harus bersikap optimis, bangga (tetapi tidak menyombongkan) diri, sekolah, dan lingkungannya, memiliki keberanian, ketekunan, loyalitas, disiplin, dan kebijakan­ kebijakan lain yang dapat dijadikan  contoh oleh anak didik mereka. Sebaliknya jangan sampai para guru menunjukkan ketidakdewasaan, membuat kerusakan, dan berperilaku tidak bermoral.
3.        Penggunaan kegiatan­kegiatan fasilitasi da­ lam pendidikan karakter sangat diperlukan dalam mengembangkan keterampilan pri­ badi (personal). Dalam membuat kepu­ tusan dan memilih berbagai hal dalam kehidupan, misalnya pekerjaan, persahabat­ an, penggunaan waktu luang, kesehatan, penggunaan uang (perilaku konsumen), ke­ hidupan beragama, diperlukan keterampilan pribadi. Salah satu cara yang sudah cukup popular untuk melatih subjek didik dalam membuat keputusan adalah dengan dilema moral.
4.        Kirschenbaum mengidentifikasi sepuluh ke­ terampilan yang diperlu dikembangkan agar subjek dapat menyesuaikan diri dan berhasil dalam mengarungi samudera kehidupan. Ke­ sepuluh keterampilan tersebut ialah: berpikir kritis, berpikir kreatif, berkomunikasi  se­ cara jelas, menyimak (mendengarkan dengan penuh pemahaman), berlaku asertif (mengemukakan pendapat secara berani tetapi sopan), menolak tekanan teman (untuk berbuat tidak baik), belajar secara kooperatif, mengatasi konflik (pertentangan), keterampilan akademik, dan keterampilan sosial. Semua keterampilan tersebut sangat diperlukan untuk menciptakan kehidupan yang cerdas dan bermartabat.
Dari beberapa cara yang dikemukakan di atas, dapat digarisbawahi bahwa keteladanan merupakan cara yang paling sering digunakan untuk mengajarkan nilai­nilai moral kepada peserta didik. Prayitno (2009:281) menyatakan bahwa, “kehidupan manusia itu tidak terlepas dari peniruan, selanjutnya dalam proses konformitas melalui pendidikan, peserta didik yang ingin/ hendak memasuki ‘kelompok pendidik’ harus banyak meniru dari keteladanan yang diberikan pendidik. Karena keteladanan yang diberikan guru merupakan guru yang paling baik, sebab sesuatu yang diperbuat melalui keteladanan selalu berdampak lebih luas, lebih jelas, dan lebih berpengaruh daripada yang dikatakan.
Hal ini sejalan dengan pandangan tokoh pendidikan nasional, yakni Ki Hajar Dewantara. Beliau menekankan 3 asas pendidikan, yakni Ing Ngarso Sung tulodho, artinya di depan seorang guru harus memberikan teladan yang baik kepada siswa­siswinya. Ing Madyo Mangun Karso, artinya di tengah atau bersama­sama dengan siswa, seorang guru diharapkan dapa aktif bekerja sama dengan siswa dalam mencapai tujuan pendidikan. Tut Wuri Handayani, artinya di belakang seorang guru harus mampu mendorong atau memotivasi peserta didik agar dapat mencapai hasil belajar yang optimal.
Al­Ghazali, seorang filsuf pendidikan Islam juga mengemukakan bahwa metode membentuk karakter anak diantaranya ialah dengan memberi contoh (teladan), latihan, dan pembiasaan (drill) kemudian nasihat dan anjuran sebagai alat pendidikan dalam rangka membina kepribadian (Hamdani Ihsan, 2007:242). Dengan demikian, Al­Ghazali menganjurkan untuk mendidik anak dan membina akhlaknya dengan latihan­latihan dan pembiasaan­pembiasaan yang sesuai dengan perkembangan jiwanya walaupun seakan­akan dipaksakan, agar anak dapat terhindar dari keterlanjuran yang menyesatkan.
Pembiasaan dan latihan tersebut akan membentuk sikap tertentu pada anak, yang lambat laun sikap itu akan bertambah jelas dan kuat, sehingga tidak tergoyahkan lagi karena telah masuk manjadi bagian dari kepribadiannya. Tahap pembiasaan itu lebih sering dialami pada masa anak­anak atau masa pertumbuhan awal individu, dimana pada masa ini, anak lebih banyak sifat meniru (imitasi). Jadi, pembiasaan­pembiasaan dan latihan­ latihan yang merupakan pengalaman bagi anak sejak kecil menjadi unsur yang penting dalam pribadinya dan mempunyai pengaruh mendalam terhadap kehidupannya nanti, sebab kepribadian seseorang itu terbentuk dari pengalaman sejak kecil.
Namun dalam menerapkan metode ter­ sebut, Al­Ghazali menyarankan agar tujuan utama dari penggunaan metode tersebut di­ selaraskan dengan tingkat usia, tingkat kecerdasan, bakat, dan pembawaan anak dan tujuannya tidak dilepaskan dari hubungannya dengan nilai manfaat. Oleh karena itu, dalam metode pendidikan ini, Al­Ghazali cenderung mendasarkan pemikirannya pada prinsip ajaran sufi (penyucian jiwa) dan pragmatis (nilai guna). Ia menempatkan pendidik sebagai tokoh teladan bagi para murid, membiasakan murid­muridnya untuk mengamalkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya bagi kepentingan diri sendiri dan masyarakat (Jalaludin, 1999:143).
Selain metode komprehensif, solusi yang ditawarkan untuk dijadikan strategi dalam pendidikan karakter salah satunya ialah dengan cerita. Tidak banyak yang tahu bahwa seorang Alexander Yang Agung, dulunya seorang yang lemah dan tidak bisa  bermain  pedang,  lalu  apa yang membuatnya dia berubah sehingga menjadi “kapal induk” bagi kekuatan negaranya dalam menaklukkan negara lain. Jawabannya adalah cerita dan kisah. Pengenalan kisah­kisah yang baik terhadap anak didik sebenarnya sudah sangat dikenal, baik oleh orang tua mau­ pun kalangan pendidik.
Cerita sebagai seni merangsang perkembangan moral sebenarnya su­ dah digunakan para pendidik sejak dahulu kala. Karena umumnya dalam cerita memuat konflik yang bermuara kepada pertentangan baik dan buruk, yang akhirnya dimenangkan pihak yang baik. Dongeng tradisional selalu memuati ma­ teri dengan pesan moral ini. Kebaikan yang dijabarkan ke dalam sifat positif para tokoh, seperti sabar, dermawan, berani, suka meno­ long, rajin, mengalah, bisa menghargai orang lain, dan menghormati budaya yang berbeda, dipertentangkan dengan arogansi tokoh tertentu, kesombongannya, tidak mau mengalah, dan ingin menang sendiri.
Rohizani Yakub (2007:1) menyatakan  bahwa cerita dapat menciptakan kepekaan terhadap anak. Tokoh dan karakter yang diceritakan akan selalu diingat oleh sang anak, baik tokoh baik maupun tokoh jahat. Cerita juga dapat berpengaruh bagi kesembuhan anak yang sedang sakit, terutama dampak psikologisnya. Cerita anak berpengaruh terhadap tingkah laku, moral, dan sportivitas anak. Di samping itu, bercerita dengan cara yang sistematik akan menumbuhkembangkan (kultur) baca di kemudian hari. Namun, sebagai bahan pembelajaran cerita harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan usia anak.
Cerita secara intensif akan mengajak anak untuk memasuki pengalaman berharga berupa perlunya manusia membangun moralitas dalam hidup, khususnya mendasari dengan moralitas untuk menghargai keberadaan manusia dan makhluk lain di sekitarnya. Dengan meletak­ kan dasar moralitas sejak dini, anak akan tum­ buh sebagai orang yang memahami pentingnya bekerjasama, mengelola konflik, dan menge­ depankan dialog dalam kehidupan.
F.     Pendidikan Karakter Terintergrasi Dalam Kegiatan Sekolah
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang disebut the golden rule. Pendidikan karakter memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar manusia tersebut. Karakter dasar manusia meliputi: suka bekerja keras dan dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab,; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang membuat atmosphir sekolah sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah.
Implementasi pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dielaborasi, dirancang, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, namun lebih diarahkan proses internalisasi nilai dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari  di masyarakat. Pendidikan karakter di sekolah sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan dan pengorganisasian penyelenggaraan kegiatan di sekolah.
Pengelolaan dan pengorganisasian pendidikan karakter meliputi aktivitas; perencanaan, pelaksanaan, penilaian dan pengendalian mutu dalam kegiatan- kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaan berisi mengenai; nilai- nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, dan komponen terkait lainnya. Dengan demikian, manajemen sekolah merupakan salah satu media yang efektif dalam pendidikan karakter di sekolah.
Menurut Buchori (2007) pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Permasalahan pendidikan karakter yang selama ini ada di sekolah perlu segera dikaji, dan dicari altenatif-alternatif solusinya, serta perlu dikembangkannya secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan di sekolah. Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan.
Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari. Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di masyarakat luas.
Sasaran pendidikan karakter adalah seluruh peserta didik yang mengikuti proses pendidikan baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Semua warga sekolah, meliputi para peserta didik, pendidik, karyawan administrasi, dan pimpinan sekolah menjadi sasaran program ini. Sekolah-sekolah yang selama ini telah berhasil melaksanakan pendidikan karakter dengan baik dijadikan sebagai best practices, yang menjadi contoh untuk disebarluaskan ke sekolah-sekolah lainnya.
Melalui program ini diharapkan lulusan SMP memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter mulia, kompetensi akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai norma- norma dan budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas, pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah. Untuk memecahkan permasalahan di atas perlu dilakukan langkah-langkah pendidikan karakter di sekolah sebagai berikut:
1)        Need assesment, mengidentifikasi akar permasalahan yang menimbulkan sikap konsumtif (boros), mengumpulkan potensi yang dimiliki oleh masyarakat untuk mengurangi sikap tersebut, dan mengidentifikasi kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat, sikap dan karakteristik masyarakat, adat istiadat. Assesment dilakukan melalui wawancara langsung, observasi dan foccus discusses.
2)     Menetapkan prioritas, informasi yang terkumpul diolah dan diidentifikasi untuk menetapkan prioritas permasalahan yang harus segera dipecahkan dan kebutuhan yang berkaitan dengan kondisi moral masyarakat. Hal-hal yang berkaitan dengan sikap, cara pandang, dan perilaku anggota masyarakat
3)    Menyusun program kegiatan, dalam menyusun program dilakukan dengan melibatkan warga masyarakat yang akan menjadi subyek. Program kegiatan pendidikan karakter di sekolah berisi: bentuk kegiatan, materi kegiatan, sasaran, pelaksana, pengelola, waktu, langkah-langkah kegiatan, nara sumber, media pembelajaran, indikator keberhasilan, model evaluasi dan tindak lanjut. Mempersiapkan lingkungan yang mendukung berkembangnya nilai-nilai moral dalam kehidupan sehari-hari.
4)   Pelaksanaan kegiatan, Kegiatan dilakukan melalui tiga tahap, yaitu tahap persiapan (mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkdan untuk menopang kelancaran kegiatan), Tahap kegiatan inti (appersepsi, pelaksanaan, evaluasi) dan tahap akhir/penutup (evaluasi, refleksi dan tindak lanjut). Dalam implementasinya dikondisikan berkembangnya pembiasaan nilai-nilai moral dan sosial untuk membentuk kultur anggota masyarakat yang berkarakter.
5)   Pengendalian mutu, dilakukan untuk mengetahui tingkat pencapaian dari pelaksanaan program kegiatan dan adanya upaya yang perlu dilakukan untuk perbaikan berdasarkan standar nilai-nilai moral yang berlaku.
6)  Tindak lanjut kegiatan. Tindak lanjut dilakukan untuk menjaga kontinyuitas dan kesinambungan kegiata, sehingga keberhasilan kegiatan diharapkan mampu memberdayakan masyarakat sehingga nilai-nilai moral menajdoi bagian dari kehidupannya.
Secara pragmatis, mencermati perilaku moral yang sedang dianut oleh kaum politisi, teknokrat/ akademisi, dan kaum birokrat/eksekutif, dan kaum yudikatif, dan masyarakat baik di tataran pusat maupun daerah, yaitu: kondisi masyarakat yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme yang mendorong munculnya affluent society, maysrakat yang steril dari kerusuhan dan pengungsian, masyarakat yang memiliki “good-governance”, masyarakat yang dapat mengejar ketertinggalan pendidikan, dan masyarakat yang maju dan mandiri. Untuk itu perlu diberdayakan pelayanan pendidikan yang berorienrtasi moral sebagai fondasi pendidikan karakter dalam kehidupan masyarakat.
G.    Hakikat Moral
Secara etimologis, kata “moral” berasal dari kata mos dalam bahasa latin, bentuk jamaknya mores, yang artinya adalah “tata cara” atau “adat istiadat”. Dalam Kamus Ilmiah, moral diartikan sebagai batin; susila; budi bahasa atau moral yang tinggi; orang yang kuat displin batinnya.10 Secara terminologis, terdapat berbagai rumusan pengertian moral, Al-ghazali sebagaimana yang dikutip Mochson mengemukakan bahwa pengertian akhlak sebagai padanan kata moral, yaitu perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa manusia dan merupakan sumber timbulnya perbuatan tertentu dari dirinya secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan dan direncanakan sebelumnya.11 Senada dengan Al-Ghazali, Piaget maupun R.F Atkinson menyebutkan bahwa rumusan moral adalah sebagai berikut:
Vews about good and bad, right and wrong, what ought not to do
… a set of belief current in society about character or conduct and what people and their actions … A system of conduct assessment which is objective in that and it reflect the condition of social existence … rule of conduct actually accepted in society …
Pengertian diatas mengindikasikan bahwa moral merupakan wacana normative dan imperative kaitanya dengan baik dan buruk, yaitu kesuluruhan dari kewajiban-kewajiban manusia. jadi kata moral mengacu pada baik dan buruknya manusia meliputi tindakan, sikap dan cara mengungkapkanya Aristoteles menggunakan istilah ini mencakup ide karakter dan disposisi, sedangkan moralis diperkenalkan ke dalam kosa kata filsafat oleh Cicero yang ekuivalen dengan kata Ethikos yang diangkat oleh Aristoteles. Kedua istilah itu, baik Ethikos maupun Moralis menyiratkan hubungan dengan kegiatan praktis berupa perilaku etis menyangkut perbuatan dalam kerangka baik dan benar.
Moral adalah hasil dari pada gabungan perbuatan yang mampu dilakukan secara bebas (merdeka). Ada sebagian lagi mendefenisikan sebagai kecenderungan (tendensi) kepada sesuatu, yang menguasai dari berbagai kecenderungan secara terus menerus (continue) dan lalu menjadi kebiasaan diri yang melekat lalu menjadi sifat dan sikap. Secara praktis etika disamakan dengan makna moral. Karena pada dasarnya etika merupakan sebuah disiplin untuk secara sistematis memahami hakikat moralitas, yakni bagaimana seharusnya manusia hidup dan mengapa harus berbuat demikian.
Ditinjau dari segi etimologis etika berasal dari kata Yunani ethikos  atau  ethos  yang  bermakna  adat,  kebiasaan,  dan praktek.
  1. Sumber Moral
Adapun sumber-sumber moral seperti yang di ungkapkan muchson dalam bukunya adalah sebagai berikut :
1.      Agama
Sebagaimana sering diakui oleh banyak orang bahwa setiap agama mengajarkan kebaikan, yang berarti bahwa setiap agama mengandung ajaran moral. Moral yang bersumber agama bersifat mutlak, permanen, eternal dan universal. Nilai-nilai moral dalam islam berlaku untuk semua orang dan semua tempat tanpa memandang tanpa memandang latar belakang etnis kesukuan, kebangsaan, dan sosial kultural.
2.      Hati Nurani
Merupakan sumber batin manusia, perasaan manusia paling dalam, yang secara kodrati mendapatkan cahaya dari Tuhan. Hati nurani menyimpan potensi moral dan setiap manusia dengan bantuan akhlak budinya mampu membedakan antara hal-hal yang baik dan buruk. Memiliki hati nurani yang mampu membedakan benar dan salah melalui empati, akan menjadikan diri sebagai sumber energi positif untuk melayani kehidupan sosial yang penuh dinamika. Hati nurani adalah penghasil moral, dan saat hati nurani diisi dengan hal-hal dan nilai-nilai positif, maka hati nurani akan menghasilkan kualitas moral yang cerdas untuk memutuskan apa yang baik, apa yang buruk, apa yang benar, apa yang tidak benar, apa yang adil, apa yang tidak adil, apa yang manusiawi, dan apa yang tidak manusiawi. Pada akhirnya, kualitas moral yang baik akan memiliki empati dan toleransi dalam melayani kehidupan yang beragam.
3.      Adat istiadat dan budaya
Adat istiadat merupakan suatu tata cara yang berlaku dalam lingkungan masyarakat tertentu, yang berlangsung secara turun temurun. Adat istiadat merupakan bagian dari budaya masyarakat. Manusia sebagai pendukung kebudayaan akan terikat pada adat istiadat yang berlaku dalam lingkungan masyarakatnya. Jadi, pada dasarnya adat istiadat itu bersifat loyal, hanya berlkau dalam lingkungan masyarakat tertentu.
  1. Fungsi Moral
Menurut Purwadarminto moral adalah ajaran baik dan buruk, tingkah laku, akhlak, kewajiban dan sebagainya. Di dalam moral diatur segala perbuatan yang oleh masyarakat dinilai baik dan seharunya dilakukan dan segala perbuatan buruk yang harus ditinggalkan. Moral dikaitkan dengan kemampuan untuk membedakan antara kebaikan dan keburukan. Nilai-nilai kehidupan adalah norma-norma yang berlaku di masyarakat, misalnya adat istiadat dan sopan santun. Terkait dengan pengalaman nilai-nilai hidup, maka moral merupakan kontrol sikap dan tingkah laku dengan nilai-nilai yang teradapat dalam masyarakat.
Dalam aliran psikoanalisis tidak membeda-bedakan antara moral, norma dan nilai. Moral sebagai kontrol segala perbuatan manusia harus terwujud dalam tingkah lakunya. Nilai-nilai kehiudpan perlu dikenali terlebih dahulu kemudian dihayati dan didorong oleh moral sehingga terbentuklah sikap tertentu dan ahirnya benar-benar menjadi bagian dari kehidupanya.
  1. Macam-macam Moral
Menurut Zahruddin AR dan Hasnuddin sinaga, perbuatan- perbuatan manusia itu dapat dibagi menjadi tiga macam perbuatan. Dari tiga perbuatan tersebut ada yang termasuk dalam kategori perbuatan moral dan ada juga yang tidak termasuk dalam perbuatan moral.
1.      Perbuatan yang dikehendaki atau disadari, pada waktu dia berbuat dan disengaja. Jelas, perbuatan ini adalah perbuatan moral, bisa baik atau buruk, tergantung kepada sifat perbuatannya.
2.      Perbuatan yang dilakukan dengan tidak disengaja, sadar atau tidak sadar waktu dia berbuat, tapi perbuatan tersebut dilakukan diluar kemampuannya dan tidak bisa mencegahnya. Perbuatan yang demikian bukan merupakan perbuatan moral.
Melihat lahirnya perbuatan manusia dapat diketahui bahwa perbuatan manusia itu bisa dikategorikan menjadi dua:
1.      Perbuatan yang tercipta dengan kehendak dan disengaja
2.      Perbuatan yang tercipta dengan tanpa kehendak dan tidak disengaja.
Dalam menetapkan suatu perbuatan yang muncul dengan kehendak dan disengaja hingga dapat dinilai baik atau buruk ada beberapa yang perlu diperhatikan:
1.        Situasi dalam keadaan bebas, sehingga tindakan dilakukan dengan sengaja.
2.        Pelaku tahu apa yang dilakukan, yakni mengenai nilai baik dan buruknya.
Oleh sebab itu, suatu perbuatan dapat dikatakan baik buruknya manakala memenuhi syarat-syarat di atas. Kesengajaan merupakan dasar penilaian terhadap tindakan seseorang.
  1. Perkembangan Moral
Menurut Santrock yang dikutip oleh Desmita bahwa perkembangan moral adalah perkembangna yang berkaitan dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain.21 Dalam pandangan Piaget sebagaimana yang dikutip oleh Hamid Darmadi mengemukakan bahwa kesadaran moral anak mengalami perkembangan dari satu tahap ke tahap yang lebih tinggi. Adapun yang menjadi latar belakang pengamatan Piaget adalah:
1.      Kesadaran akan peraturan
2.      Pelaksanaan dari peraturan
Perkembangan manusia ditentukan oleh kemampuan seseorang dalam merespon lingkungan. Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral, tetapi dalam dirinya terdapat potensi moral yang siap dikembangkan. Oleh karena itu, melalui pengalamanya berinteraksi dengan orang lain, anak belajar memahami tentang perilaku yang baik dan perilaku yang buruk. Elizabeth B. Hurlock menyebutkan adanya empat tahapan perkembangan moral sebagai berikut:
1.      Masa Bayi
Bayi tidak memiliki hirarki nilai dan suara hati. Bayi tergolong nonmoral, tidak bermoral maupun tidak amoral. Lambat laun ia akan mempelajari kode moral dari orang tua dan kemudian dari guru-guru, dan teman-teman dan juga ia belajar pentingnya mengikuti kode moral ini. bayi berada dalam tahap perkembangan moral yang oleh piaget disebut moralitas dan paksaan.24 Tahap ini berahir sampai usia tujuh atau delapan tahun dan ditandai oleh kepatuhan otomatis kepada aturan-aturan tanpa penalaran atau penilaian.
2.      Masa Awal anak-anak
Perkembangan moral pada masa awal anak-anak masih dalam tingkat rendah. Awal masa anak-anak ditandai dengan apa yang oleh Piaget sebut moralitas melalui paksaan. Dalam tahapan ini anak secara otomatis mengikuti peraturan-peraturan tanpa berfikir atau menilai dan ia menganggap orang dewasa yang berkuasa sebagai mahakuasa.
3.      Ahir masa anak-anak
Konsep moral pada masa anak ini tidak sesempit dan sekhusus sebelumnya. Disaamping itu, anak yang lebih besar menemukan bahwa kelompok sosial terlibat dalam berbagai kesungguhan pada berbagai macam perbuatan. Pengetahuan ini kemudian digabungkan menjadi konsep moral.26 Menurut Piaget, antara usia lima sampe dua belas tahun konsep anak mengenai keadilan sudah bertambah. Pengertian yang kaku dan keras tentang benar dan salah yang dipelajari dari orang tua menjadi berubah dan anak mulai memperhitungkan keadaan-keadaan khusus disekitar pelanggaran moral.
4.      Masa Remaja
Ada dua kondisi yang membuat konsep moral khusus kedalam konsep moral yang berlaku umum tentang benar dan salah yang lebih sulit dari pada yang seharusnya. Pertama kurangnya bimbingan dalam mempelajari bagaimana membuat konsep khusus berlaku umum dan yang kedua Yang membuat sulitnya penggantian konsep oral yang berlaku khusus dengan konsep moral yang berlaku umum berhubungan dengna jenis disiplin yang diterapkan dirumah dan disekolah. Pergantian moral ketika memasuki masa remaja, anak-anak tidak lagi begitu saja menerima kode moral dari orang tua, guru bahkan teman – teman sebaya.
  1. Pendidikan Moral
Pendidikan moral adalah bentuk pendidikan yang mengarah pada pembentukan jiwa, cara bersikap seseorang pada kehidupanya dan lain sebagainya. Pendidikan disini meruupakan proses belajar yang mengarahkan manusia pada kesempurnaan dalam mencapai tujuanya menjadi manusia yang berakhlak mulia.
Dalam dunia pendidikan dan pembinaan anak – anak etika teoritis yang diajarkan oleh para tokoh ini adalah salah satu cara untuk membina moral para remaja. Proses pembinaan ini dianggap sangat penting dalam menolong mereka dari kerusakan mental. Anak–anak dalam fase perkembanganya masih sangat membutuhkan bantuan dari orang tua di rumah, bimbingan para guru di sekolah dan pemuka masyarakat.
Pendidikan moral merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pendidikan. Beberapa hal yang berkaitan dengan pendidikan moral, yakni: (1) Pendidikan karakter; merupakan pendidikan yang bersentuhan langsung dengan perkembangan moral anak; (2) Klarifikasi nilai adalah proses memberikan bantuan kepada setiap anak untuk memahami dan menyadari untuk apa hidup serta mengklarifikasi bentuk-bentuk perilaku apa yang layak dikerjakan; dan (3) Pendidikan moral kognitif adalah pendekatan yang didasarkan pada keyakinan bahwa murid harus mempelajari hal-hal seperti demokrasi dan keadilan saat moral mereka sedang berkembang.
(http://rahma10253.blogspot.Com/2011/05/ pengertian-pendidikan-moral.html)
Dalam pendidikan moral, untuk memberikan materi yang berhubungan dengan makna kehidupan sosial yang penuh keragaman agama, budaya, suku, ras atau etnik, status sosial dan lainnya, haruslah dilakukan secara tepat dan hati-hati. Para ahli pendidikan berpendapat bahwa siswa dalam pendidikan moral, khususnya anak-anak, membutuhkan orientasi, maksudnya contoh, saksi nilai yang hidup, atau teladan yang dapat dilihat, dirasakan, dan akhirnya diikuti menjadi tindakan atau perilaku. (Hariyati,2007:vi).
M.   Proses Pembelajaran Moral
Menurut Galloway (2000:76): Belajar adalah perubahan perilaku yang relatif permanen, hasil dari latihan yang terus menerus. Selanjutnya menurut Seels dan Richey (2004;12): Belajar adalah perubahan yang relatif permanen pada pengetahuan seseorang atau sifat tingkah lakunya berdasarkan pengalaman. Menurut Piaget dalam Riniraihan: () perkembangan moral merupakan proses internalisasi nilai/norma masyarakat sesuai dengan kematangan dan kemampuan seseorang menyesuaikan diri terhadap aturan yang berlaku dalam kehidupannya. Perkembangan moral mencakup aspek kognitif yaitu pengetahuan tentang baik/buruk atau benar/salah, dan aspek afektif yaitu sikap perilaku moral yang dipraktekkan.
Selanjutnya Piaget membagi perkembangan moral anak menjadi 3 fase yaitu:
1)        Fase absolut; anak menghayati peraturan sebagai suatu hal yang dapat diubah, karena berasal dari otoritas yang dihormatinya. Peraturan sebagai moral adalah obyek eksternal yang tidak boleh  diubah,
2)        Fase realitas; anak menyesuaikan diri untuk menghindari penolakan orang lain. Peraturan dianggap dapat diubah, karena berasal dari perumusan bersama. Mereka menyetujui perubahan yang jujur dan disetujui bersama, serta merasa bertanggung jawab menaatinya, dan
3)        Fase subyektif; anak memperhatikan motif/kesengajaan dalam penilaian perilaku.
Perkembangan moral pada anak-anak dapat berlangsung melalui beberapa cara, yaitu:
1)      Pendidikan langsung; melalui penanaman pengertian tentang tingkah laku yang benar dan salah atau yang baik dan buruk oleh orangtua, guru, atau orang dewasa lainnya. Hal yang paling penting dalam pendidikan moral adalah keteladanan dari orangtua, guru, dan orang dewasa lainnya dalam melakukan nilai-nilai moral,
2)      Identifikasi; yaitu dengan cara meniru penampilan atau tingkah laku moral seseorang yang menjadi idolanya, seperti orangtua, guru, kiai, artis, atau orang dewasa lainnya,
3)      Proses coba-coba; yaitu dengan cara mengembangkan tingkah laku moral secara coba-coba. Tingkah laku yang mendatangkan pujian atau penghargaan akan terus dikembangkan, sementara tingkah laku yang mendatangkan hukuman atau celaan akan dihentikannya (Yusuf, 2008:134).
Menurut Wantah, (2007:109) ada 3 strategi dalam pembentukan perilaku moral pada anak usia dini, yaitu:
1)      Strategi latihan dan pembiasaan,
2)      Strategi aktivitas dan bermain, dan
3)      Strategi pembelajaran.
Sementara menurut Nuraini (2009:90-94), terdapat sejumlah prinsip pembelajaran untuk anak-anak yaitu:
1)      Anak sebagai pembelajar aktif,
2)      Anak belajar melalui sensori dan panca indera,
3)      Anak membangun pengetahuan sendiri,
4)      Anak berpikir melalui benda konkret,
5)      Anak belajar dari lingkungan.
Pembelajaran moral dalam konteks ini tidak semata – mata sebagai suatu situasi seperti yang terjadi dalam kelas – kelas belajar formal di sekolah, apalagi pembelajaran ini ditujukan pada anak-anak usia dini dengan ciri utamanya senang bermain. Dari segi tahapan perkembangan moral, strategi pembelajaran moral berbeda orientasinya antara tahapan yang satu dengan lainnya. Pada anak usia 0 – 2 tahun pembelajaran lebih banyak berorientasi pada latihan aktivitas motorik dan pemenuhan kebutuhan anak secara proporsional. Pada anak usia antara 2–4 tahun pembelajaran moral lebih diarahkan pada pembentukan rasa kemandirian anak dalam memasuki dan menghadapi lingkungan. Untuk anak usia 4 – 6 tahun strategi pembelajaran moral diarahkan pada pembentukan inisiatif anak untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan perilaku baik dan buruk.
N.    Pendidikan Pengembangan Moral
Pengembangan moral anak-anak dapat dilakukan melalui pengembangan pembiasaan berperilaku dalam keluarga dan sekolah. Pengembangan berperilaku yang baik dimulai dari dalam keluarga yang merupakan lingkungan pertama dan utama bagi perkembangan anak. Keluarga merupakan lingkungan pendidikan paling efektif untuk melatih berbagai kebiasaan yang baik pada anak. Untuk mengembangkan karakter anak dalam keluarga terdapat 10 prinsip penting dan harus diperhatikan, yaitu:
1)        Moralitas penghormatan; hormat merupakan kunci utama untuk dapat hidup harmonis dalam masyarkat yang mencakup:
a)         penghormatan kepada diri sendiri untuk mencegah agar diri sendiri tidak terlibat dalam perilaku yang merugikan,
b)        Penghormatan kepada sesama manusia meskipun berbeda suku, agama, kemampuan ekonomi, dan lainnya,
c)         Penghormatan kepada lingkungan fisik yang merupakan ciptaan Tuhan.
2)      Perkembangan moralitas kehormatan berjalan secara bertahap; Anak-anak tidak dapat langsung berkembang menjadi manusia yang bermoral, tetapi memerlukan waktu dan proses yang terus menerus, dan memerlukan kesabaran orang tua untuk melakukan pendidikan tersebut.
3)      Mengajarkan prinsip menghormati; Anak-anak akan belajar menghormati orang lain jika dirinya merasa bahwa pihak lain menghormatinya. Oleh karena itu orang tua hendaknya menghormati anaknya. Penghormatan orang tua kepada anak dapat dilakukan misalnya dengan menghargai pendapat anak, menjelaskan kenapa suatu aturan dibuat untuk anak, dan lainnya.
4)      Mengajarkan dengan contoh; Pembentukan perilaku pada anak mudah dilakukan melalui contoh. Oleh karena itu contoh nyata dari orang tua bagaimana seharusnya anak berperilaku harus diberikan. Selain itu, orang tua juga bisa membacakan buku-buku yang di dalamnya terdapat pesan- pesan moral. Orang tua hendaknya mengontrol acara- acara televisi yang sering ditonton anaknya, jangan sampai acara yang disukai anak adalah acara yang berpengaruh buruk pada perkembangan moralnya.
5)      Mengajarkan dengan kata-kata; Orang tua hendaknya menjelaskan dengan kata-kata apa yang ia contohkan. Misalnya anak dijelaskan mengapa berdusta dikatakan sebagai tindakan yang buruk, karena orang lain tidak akan percaya kepadanya.
6)      Mendorong anak untuk merefleksikan tindakannya; Ketika anak telah melakukan tindakan yang salah, misalnya merebut mainan adiknya sehingga adiknya menangis, anak disuruh untuk berpikir jika ada anak lain yang merebut mainannya, bagaimana reaksinya
7)      Mengajarkan anak untuk mengemban tanggung jawab; Anak-anak harus dididik untuk menjadi pribadi-pribadi yang peduli pada sesamanya. Untuk itu sejak dini anak harus dilatih melalui pemberian tanggung jawab.
8)      Mengajarkan keseimbangan antara kebebasan dan kontrol; Keseimbangan antara kebebasan dan kontrol diperlukan dalam upaya pengembangan moral anak. Anak diberi pilihan untuk menentukan apa yang akan dilakukannya namun aturan-aturan yang berlaku harus ditaati.
9)      Cintailah anak, karena cinta merupakan dasar dari pembentukan moral; Perhatian dan cinta orang tua kepada anak merupakan kontribusi penting dalam pembentukan karakter yang baik pada anak. Jika anak-anak diperhatikan dan disayangi maka mereka juga belajar memperhatikan dan menyayangi orang lain
10)  Menciptakan keluarga bahagia; Pendidikan moral kepada anak tidak terlepas dari konteks keluarga. Usaha menjadikan anak menjadi pribadi yang bermoral akan lebih mudah jika anak mendapatkan pendidikan dari lingkungan keluarga yang bahagia. Untuk itu usaha mewujudkan keluarga yang bahagia merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh orang tua sehubungan dengan perkembangan moral anaknya.
O.    Pengembangan Kebiasaan Berperilaku Yang Baik Di Sekolah
Perkembangan moral anak tidak terlepas dari lingkungan di luar rumah. Pendidikan moral pada lembaga pendidikan formal dimulai ketika anak-anak mengikuti pendidikan pada taman kanak-kanak. Pengalaman yang diperoleh anak-anak dari taman kanak-kanak memberikan pengaruh positif pada perkembangan anak selanjutnya. Di lembaga pendidikan formal anak usia dini, peran guru dalam pengembangan moral anak sangat penting. Hal ini dapat diketahui berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan bahwa nilai dan prosentase dari setiap siswa yang menjadi objek pada penelitian ini pada setiap tahap, kondisinya terus mengalami peningkatan.
Pada penelitian ini guru: (1) Memperlakukan siswa dengan kasih sayang, adil, dan hormat, (2) Memberikan perhatian khusus secara individual agar guru dapat mengenal secara baik siswanya, (3) Menjadikan dirinya sebagai contoh atau tokoh panutan, (4) Membetulkan perilaku yang salah pada siswa.
P.     Dampak Moral dan Karakter
Campbell dan Bond (1982) menyatakan ada empat pertanyaan utama yang harus diatasi ketika berfokus pada pengembangan karakter:
1.      Apa karakter yang baik?;
2.      Apa yang menyebabkan atau mencegah hal itu?;
3.      Bagaimana cara mengukur sehingga upaya perbaikan dapat memiliki umpan balik yang korektif?; dan
4.      Bagaimana sebaiknya dikembangkan?
Seperti dijelaskan sebelumnya, karak-ter yang baik didefinisikan dalam istilah tindakan seseorang. Pengembangan karakter tradisional memiliki fokus pada sifat-sifat atau nilai-nilai yang sesuai untuk era industri seperti ketaatan kepada otoritas, etos kerja, bekerja dalam kelompok di bawah penga-wasan, dll. Namun, seperti dijelaskan dalam laporan SCANS (1991) dan (1997) kritik Huitt's, pendidikan modern harus menge-depankan karakter didasarkan pada nilai-nilai yang sesuai untuk era informasi: kebenaran, kejujuran, integritas, tanggung jawab, individu, kerendahan hati, kebijak-sanaan, keadilan, keteguhan, ketergan-tungan, dll.
Dalam hal yang mempengaruhi pembangunan karakter, Campbell dan Bond (1982) mengusulkan faktor utama dalam pengembangan moral dan perilaku kon-temporer remaja di Amerika sebagai berikut:
1.      Keturunan
2.      Pengalaman masa awal kanak-kanak
3.      Pentingnya pemodelan oleh orang dewasa dan pemuda yang lebih tua
4.      Pengaruh rekan
5.      Fisik dan lingkungan sosial umum
6.      Media komunikasi
7.      Apa yang diajarkan di sekolah-sekolah dan lembaga lainnya
8.      Situasi spesifik dan peran yang menimbulkan perilaku yang sesuai.
Sumber pengaruh ini didaftar dalam urutan perkiraan yang paling mudah diker-jakan untuk menunjukkan mengapa kita sering mencari solusi atas masalah-masalah sosial melalui sekolah. Adalah hal penting untuk menyadari bahwa meskipun sekolah melakukan dan harus berperan dalam pengembangan karakter, namun secara umum keluarga, dan masyarakat juga memiliki pengaruh penting (Huitt, 1999). Pengukuran karakter karakter telah terbukti sulit sebab, dengan definisi, meli-batkan perilaku, tetapi karakter sering didefinisikan dalam istilah sifat (yaitu, kejujuran, integritas, dll). Beberapa langkah-langkah yang disarankan oleh Campbell dan Bond (1982) adalah:
1.      Kedisiplinan pelajar;
2.      Tingkat bunuh diri pelajar;
3.      Kejahatan: penyerangan, pencurian, pembunuhan;
4.      Tingkat kehamilan gadis-gadis remaja, dan
5.      Kegiatan prososial.
Bennett (1993) mengusulkan daftar indikator budaya yang ia percaya dapat digunakan untuk mengukur karakter masyarakat kita. Selain itu, ia mengutip sejumlah tren sosial yang ia percaya telah memberi dampak pada indikator tersebut.
Sekilas menunjukkan bahwa masyarakat kita sedang berubah dalam cara-cara yang menghasilkan ketidaknyamanan bagi kebanyakan dari kita. Sedangkan Produk Domestik Bruto (PDB - jumlah barang dan jasa yang dihasilkan di negara ini) telah meningkat secara dramatis dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk, dengan peningkatan pengeluaran terkait dalam program-program sosial, data tentang indi-kator yang dapat digunakan sebagai ukuran karakter bangsa menunjukkan pergerakan ke arah yang berlawanan. Menurut pendapat saya, ini jenis analisis ini cukup baik karena pada tingkat yang meliputi pengaruh dari semua lembaga-lembaga sosial utama, mem- pengaruhi pengembangan karakter pada generasi muda kita, bukan hanya sekolah. Namun, sekolah memiliki pengaruh yang penting dan kita harus menggunakan pengaruh tersebut.
Ada berbagai alternatif pengdekatan berkaitan dengan moral dan pendidikan karakter di sekolah-sekolah (Watkins, 1976). Pertama, kita dapat mengabaikannya sepenuhnya yang menganggap masalah ini adalah di luar batas-batas kurikulum yang tepat. Ini menunjukkan bahwa pandangan ini adalah tidak benar. Kedua, kita dapat mengambil sikap "nilai-nilai netral" dan menyediakan bagi siswa untuk mengklarifikasi dan mempertahankan nilai – nilai mereka sendiri tanpa membuat rekomendasi atau menganjurkan sebuah sudut pandang tertentu. Ini adalah posisi yang diambil oleh para pendukung gerakan klarifikasi nilai (misalnya, Kirschenbaum & Simon, 1973; Raths, Harmin & Simon, 1978; Simon, Howe & Kirschenbaum, 1972) dan mengasumsikan bahwa tidak ada nilai-nilai atau karakter yang lebih valid daripada yang lain.
Namun, sejauh bahwa nilai-nilai tertentu atau karakter lebih cenderung mengarah pada hasil sosial yang diinginkan, tampaknya tidak pantas untuk tidak mengidentifikasi ini sebagai nilai-nilai "lebih baik". Ini bukan untuk mengatakan bahwa teknik yang digunakan dalam klarifikasi nilai – nilai tidak ada gunanya, tetapi bahwa ketika para pendidik dan masyarakat telah mengembangkan konsen-sus tentang nilai nilai-nilai tertentu, tampaknya sepenuhnya sesuai untuk diajarkan kepada siswa. Ketiga adalah untuk mengajar siswa proses khusus yang harus diikuti ketika membuat keputusan dan menempatkan ini ke dalam tindakan.
Ini adalah pendekatan tampilan analisis yang digunakan dalam nilai-nilai pendidikan dan mengasumsikan keputusan moral dan karakter dibuat rasional (misalnya, Ennis, 1969; Metcalf, 1971). Pendekatan keempat adalah berorientasi kognitif adalah untuk melibatkan para siswa dalam diskusi-diskusi tentang isu-isu moral yang relevan dengan harapan bahwa siswa yang mendengar rekan – rekan mereka membahas masalah tersebut dari tingkat yang lebih tinggi akan tertarik untuk posisi itu. Posisi ini diuraikan dalam pendekatan perkembangan moral Lawrence Kohlberg yang didasarkan pada teori teori perkembangan kognitif Jean Piaget (Kohlberg, 1976, 1984).
Sementara teknik yang digunakan dalam pendekatan kedua telah terbukti efektif dalam mengubah cara berpikir, ada sedikit bukti untuk mendukung keyakinan bahwa cara berpikir dapat berubah secara otomatis dan akan menghasilkan perubahan perilaku. Dan itu berdampak pada perilaku yang membedakan pendidikan nilai-nilai dari pendidikan karakter. Kelima adalah untuk mengajar siswa kumpulan nilai-nilai dan tindakan yang tepat. Ini adalah posisi yang diambil oleh pendekatan penanaman nilai- nilai klarifikasi (misalnya, Georgia Departemen Pendidikan, 1997; Wynne, 1989; Wynne & Ryan, 1992; Wynne & Walberg, 1984). Pendekatan ini mengasumsikan seperangkat nilai-nilai mutlak yang disepakati oleh masyarakat yang berubah dan yang diterapkan tepat dalam segala situasi.
Terakhir adalah dengan menggunakan penanaman, pendidikan nilai, analisis, dan perkembangan moral. Pendekatan yang dijelaskan di atas kapan dan di mana yang sesuai dan kemudian minta siswa menaruh pikiran dan perasaan mereka ke dalam tindakan dalam berbagai tindakan sosial seperti yang disarankan dalam tindakan pembelajaran atau layanan pendekatan pembelajaran (Champion, 1999). Kombinasi pendekatan lebih akan berdampak dua aspek penting dari karakter, tidak termasuk dalam nilai-nilai pendidikan, kemauan dan tindakan.
Dari perspektif pandangan sistem, yang paling kompatibel dengan tindakan belajar dan layanan pendekatan pembela-jaran untuk pendidikan karakter, kita perlu mendefinisikan pengembangan karakter dalam tiga komponen pikiran: kognisi (cognitive), pengeruh (affect), kemauan (volition) dan komponen perilaku seperti digambarkan dalam model sistem perilaku manusia (Huitt, 1996). Komponen kognitif karakter terdiri dari kedua dasar pengetahuan tentang benar dan salah serta proses rasional dan kreatif yang diperlukan untuk bekerja dengan basis pengetahuan untuk membuat keputusan moral. Ada sistem nilai terkait dengan penentuan apa yang sangat dihargai individu atau yang dilakukan.
Ini adalah kriteria yang digu-nakan siswa untuk membuat penilaian moral atau etis. Siswa belajar menghargai apa yang ada pada basis pengetahuan mereka, mereka juga akan berpikir lebih kritis dan kreatif. Kedua komponen mempengaruhi ko-mitmen pelajar, mereka bersedia untuk menetapkan tujuan, mereka bersedia untuk merencanakan dan membuat energi terhadap pelaksanaannya. Pelajar membuat komit-men dan rencana tersebut, hal itu menambah basis pengetahuan, pemikiran mereka, dan memperkuat keterampilan nilai-nilai. Ketiga komponen kemudian mempengaruhi komponen akhir, perilaku terbuka.
Perilaku ini memiliki dua aspek: kebajikan pribadi seperti berani, disiplin diri, dan sensitifitas sosial seperti yang penuh belas kasih, sopan, dan dapat dipercaya. Sebagian siswa merefleksikan perilaku mereka, hal itu menambah basis pengetahuan, memperkuat kemampuan berpikir mereka, dan dampak nilai-nilai mereka. Tentu saja, perilaku juga dapat secara langsung dipengaruhi melalui penerapan konsekuensi seperti yang dije-laskan oleh teori operant conditioning dan melalui observasi dan model seperti yang dijelaskan oleh teori pembelajaran sosial (Huitt & Hummel, 1997).
Prinsip dasar dari model ini adalah bahwa banyak pengetahuan dan nilai – nilai yang dipegang siswa secara implisit dan telah diperoleh meskipun observasi, pemodelan, dan penerapan konsekuensi. Sama pentingnya dengan hal itu adalah jelas dampak perilaku moral, adalah sama pentingnya untuk membantu siswa membuat basis pengetahuan eksplisit sendiri, sistem nilai, proses melakukan, dan perencanaan sehingga membuat perilaku lebih disengaja. Pandangan multi-faceted pembangunan karakter lebih mirip dengan teori kognisi sosial Bandura dengan penekanan pada determinisme timbal- balik daripada panda-ngan perilaku, kognitif, atau humanistik, yang masing – masing lebih cenderung berfokus pada satu komponen untuk merugikan orang lain.
Dalam membantu siswa untuk pengembangan moral dan karakter, kita harus mengakui bahwa komponen ini berperan dalam konteks berubah dengan cepat dan karena itu, kita tidak bisa mengajar semua pengetahuan yang spesifik, nilai atau perilaku yang akan membawa kesuksesan dalam semua aspek hidup mereka. Karena itu kita harus mengakui bahwa beberapa nilai relatif dan mengajar siswa untuk mengembangkan sesuai pandangan mereka sendiri.
Setiap kerangka untuk mempengaruhi moral dan pengembangan karakter adalah arbitrer kecuali didasarkan pada beberapa landasan filosofis. Karena tidak ada pendekatan saat ini untuk pendidikan moral. Yang terpenting adalah konsisten dengan semua filsafat dan teori meta-etika, pertama pendidik harus memutuskan pengembangan kurikulum (Watkins, 1976). Sayangnya, serangkaian penelitian oleh Hartshorne dan rekan (1928, 1929, 1930) menunjukkan bahwa teknik pelatihan karakter tertentu, seperti diskusi dalam kelas, atau bahkan berlatih membantu kegiatan, melahirkan hubungan yang sedikit signifikan atau tidak ada hubungan dengan aktivitas moral siswa.
Q.    Contoh Program
Proyek Pengembangan Anak atau Children Development Project (CDP) dirancang untuk membantu guru dan orangtua meningkatkan "prososial anak- anak" perilaku dan sikap dengan program yang dibentuk oleh tiga proposisi umum (Watson M., Solomon, D., Battistich, V., Schaps, E., & Solomon, J., 1989; Salomo, Schaps, Watson, & Battistich, 1992):
1.      Orang dewasa memainkan peranan aktif dan penting dalam membentuk perkembangan karakter anak-anak;
2.      Karakter berkembang dari dalam anak atas dasar pemikiran dan pengalaman anak, dan
3.      Memberikan lingkungan keluarga yang memadai, anak-anak akan dilibatkan untuk peduli tentang orang lain serta diri mereka sendiri.
Intervensi dirancang untuk mempe-ngaruhi tiga sistem yang berbeda tetapi saling terkait - afektif, kognitif, dan konatif. CDP mengajarkan nilai- nilai prososial yang relevan (khusus keadilan, pertimbangan, kegunaan, dan tanggung jawab sosial) dan mengajarkan keterampilan sosial yang dibutuhkan dan komitmen terhadap nilai-nilai prososial. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa anak-anak perlu belajar baik keterampilan khusus dan kebijaksanaan moral akumulasi dari budaya kita dengan konvensi sosial yang tepat. Ada lima jenis pengalaman yang dianggap penting bagi perkembangan orientasi prososial anak-anak:
1.      Mendukung hubungan orang dewasa-anak. Anak cenderung meniru orang dewasa dengan siapa memiliki hubungan yang positif;
2.   Menggambarkan terhadap nilai-nilai social. Tidak hanya kebiasaan sosial dan konvensi tetapi juga akumulasi kebijaksanaan moral masyarakat dewasa; mengekspos anak-anak un-tuk model prososial dan menjelaskan alasan-alasan tindakan moral;
3.    Kesempatan untuk berinteraksi dengan rekan dan tindakan prososial. Anak-anak dibantu untuk mengembangkan pengendalian diri, meningkatkan pemahaman moral, social, dan kepedulian terhadap rekan-rekan mereka;
4.      Kesempatan untuk memikirkan dan membahas isu-isu moral. Pekerjaan developmentalists struktural telah menunjukkan bahwa anak-anak ber- usaha untuk mengembangkan sistem moral yang koheren, dan bahwa ini dipupuk dengan memberikan kesem-patan untuk membahas dan memikirkan situasi moral, seperti ke-percayaan anak-anak, remaja, dewasa
5.    Mempromosikan pengalaman orang lain. Kemampuan untuk mengambil perspektif orang lain telah dikemu-kakan dengan teori perkembangan kognitif-sebagai bahan utama tin-dakan prososial.
Program CDP telah ditunjuk sebagai salah satu Program Pendidikan. Hasil program ini menunjukkan bahwa siswa yang terdaftar lebih membantu dan kooperatif dan lebih sering menampilkan kasih sayang, perhatian, dukungan, dan dorongan satu sama lain. Mereka menunjukkan lebih baik keterampilan kognitif-pemecahan masalah sosial dan strategi yang umumnya lebih berkomitmen pada nilai-nilai demokrasi tertentu. Anak-anak lebih terlibat dalam tanggung jawab. Singkatnya, guru dalam program CDP memberikan anak-anak instruksi tentang bagaimana menjadi adil, peduli, dan bertanggung jawab di dalam kelas. Mereka juga memberikan kesempatan untuk memikirkan dan membahas arti pentingnya nilai-nilai fundamental prososial dan mempraktikkan nilai-nilai ini terutama di kelas, di sekolah pada umumnya, di rumah, dan di masyarakat adalah hal yang terpenting. Program CDP menunjukkan bahwa kombinasi pengajaran, praktik, dan refleksi adalah cara yang ampuh untuk anak-anak untuk belajar.
R.    Pentingnya Pendidikan Moral bagi Peserta Didik
Kata moral berasal dari bahasa latin mores yang berarti tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat. C. Asri Budiningsih (2008) berpendapat  bahwa  penalaran moral menekankan pada alasan mengapa suatu tindakan dilakukan, sehingga dapat dinilai apakah tindakan tersebut baik atau buruk.
Semakin menurunnya moral di kalangan remaja , kita sebagai  pendidik merasa terpanggil untuk ikut bertanggung jawab mencari solusinya agar  dekadensi moral generasi muda bangsa Indonesia yang kita cintai ini tidak berkepanjangan. Mari kita bekerjasama untuk membenahi akhlak anak-anak bangsa kita.
Banyak orang berpandangan bahwa menurunnya di kalangan remaja akibat kurang berhasilnya dunia pendidikan di era globalisasi dewasa ini.Itu semua tidak benar. Pendidikan moral tidak hanya selama dilingkungan sekolah, melainkan dilingkungan keluargalah awal pendidikan moral terhadap anak mulai ditanamkan. Mulyani S dkk. 2007. Menyatakan bahwa anak-anak akan mengidentifikasi dirinya dengan ibu atau ayahnya serta orang lain yang dekat dengannya. Dasar pendidikan agama yang kokoh jika ditanamkam pada anak sedini mungkin akan membentuk karakter penuh kasih dan peduli terhadap sesama.Hal ini bisa terjadi karena setiap agama pasti akan memberikan pelajaran budi pekerti dan akhlak mulia.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa keluarga sangat berperan dalam pembentukan moral anak. Di bidang pendidikan sekolah, terjadinya penyimpangan-penyimpangan  moral peserta didik tidak hanya menjadi tanggung jawab pendidikan agama, tetapi juga merupakan tanggung jawab seluruh pengajar di sekolah. Guru bahasa, guru olah raga, guru IPA seyogyanya turut bertanggung jawab dalam membentuk moralitas peserta didik.
Sigit Dwi K. 2007. Menyatakan bahwa Pendidikan moral di sekolah diharapkan dapat menghasilkan peserta didik yang memiliki kompetensi personal dan sosial sehingga menjadi warga negara yang baik
Sumber daya manusia yang akan datang adalah anak-anak dan generasi muda masa kini. Berbicara mengenai pendidikan moral di Indonesia, maka pemerintah zaman Orde Baru, pendidikan moral dikaitkan dengan nilai-nilai dasar Pancasila. Hal ini dimaksudkan bahwa sebagai dasar negara, maka kedudukan Pancasila merupakan landasan dan falsafah hidup dalam berbangsa dan bernegara. Karena itu, pendidikan moral ditanamkan pada peserta didik melalui pemberian mata pelajaran yang diberi nama Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang kemudian berubah menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan  (PPKn). 
Pentingnya pendidikan moral ini, sehingga ia menjadi mata pelajaran istimewa di samping mata pelajaran pendidikan agama. Pada waktu itu apabila peserta didik memperoleh nilai rendah pada kedua mata pelajaran tersebut, menjadi bahan pertimbangan apakah seseorang naik atau tinggal kelas. Bahkan proses penilaian atas mata pelajaran khusus pendidikan moral ini, tidak hanya dilihat dari aspek kognitif semata. Sebaliknya, tingkah laku peserta didik dengan berbagai standar nilai yang telah ditetapkan menjadi indikator penentu. Pada waktu itu guru agama dan guru PMP pun sangat dihormati karena dianggap sebagai penentu nasib para peserta didik.
Tapi masa reformasi sekarang kedua mata pelajaran yang dahulu dianggap maha penting, kini tampak kurang menjadi prioritas serta menjadi korban kebijakan kurikulum. Menghadapi krisis moral yang sedang melanda bangsa ini, maka sudah seharusnya Pendidikan mengambil peranan sebagai benteng moral bangsa. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect), dan tubuh anak.
UU Sisdiknas juga dituliskan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.Hal itu menunjukkan betapa pentingnya pendidikan moral dan pembangunan karakter bangsa. Pendidikan moral merupakan bagian integral yang sangat penting dari pendidikan kita. Untuk itu dunia pendidikan harus mampu menjadi motor penggerak untuk memfasilitasi pembangunan moral bangsa, sehingga setiap peserta didik mempunyai kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis dan demokratis dengan tetap memperhatikan sendi-sendi NKRI dan norma-norma sosial di masyarakat yang telah menjadi kesepakatan bersama.
Moral itu sendiri berasal dari bahasa latin mores yang merupakan bentuk jamak dari perkataan mos yang berarti adat kebiasaan. Dalam kamus Umum bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral adalah penentuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan. Istilah moral biasanya dipergunakan untuk menentukan batas-batas suatu perbuatan atau kelakuan, sifat dan perangai yang dinyatakan benar, salah, baik, buruk, layak atau tidak layak, patut maupun tidak patut. Moral dalam istilah dipahami juga sebagai (1) prinsip hidup yang berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk. (2) kemampuan untuk memahami perbedaan benar dan salah. (3) ajaran atau gambaran tentang tingkah laku yang baik. (http://www.nu.or.id) dalam Urgensi Pendidikan Moral, oleh Cipto Wardoyo.
Pendidikan moral sebagai bagian dari pendidikan nilai di sekolah, yang membantu peserta didik mengenal , menyadari pentingnya, nilai-nilai moral yang seharusnya dijadikan panduan bagi sikap dan perilakunya sebagai manusia, baik secara perorangan maupun bersama-sama dalam suatu masyarakat. Nilai moral mendasari prinsip dan norma hidup baik yang memandu sikap dan perilaku manusia sebagai pedoman dalam hidupnya. Kita semua tentu mengetahui, kualitas hidup seseorang ditentukan oleh nilai-nilai, dan termasuk di dalamnya yaitu nilai moral.
Watak dan kepribadian seseorang dibentuk oleh nilai-nilai yang dipilih, diusahakan, dalam setiap tindakan-tindakannya. Dalam upaya pengenalan dan penyadaran pentingnya penghayatan nilai-nilai moral, pendidikan moral memuat unsur penyampaian pengetahuan moral kepada peserta didik, serta pengembangan pengetahuan moral yang sudah ada padanya.
Pendidikan moral yang ada di sekolah saat ini seolah terkesan hanya menginformasikan teori-teori dan pengetahuan konsep moral kepada peserta didik, sehingga pendidikan moral yang ada saat ini belum mampu membuat perubahan perilaku pada peserta didik. Hal ini ditunjukkan semakin maraknya isu- isu moral yang negatip di kalangan generasi muda dewasa ini. 
S.      Pengaruh Globalisasi Terhadap Perkembangan Moral Peserta Didik
Faktor pendukung utama arus globalisasi adalah teknologi informasi dan komunikasi. Perkembangan teknologi dewasa ini begitu cepat sehingga segala informasi dengan berbagai bentuk dapat tersebar luas ke seluruh dunia.Oleh karena itu globalisasi tidak dapat kita hindari kehadirannya. Akibat globalisasi tentunya membawa pengaruh terhadap suatu negara termasuk Indonesia, khususnya terhadap perkembangan moral peserta didik
Pengaruh negatif globalisasi yang berkaitan dengan perkembangan moral peserta didik antara lain dalam bidang budaya dan sosial, banyak dikalangan remaja telah hilang nilai-nilai nasionalisme bangsa kita, misalnya sudah tidak kenal sopan santun, cara berpakaian, dan gaya hidup mereka cenderung meniru budaya barat. Munculnya sikap individualisme, kurang peduli terhadap orang lain sehingga sikap gotong royong semakin luntur.
Berdasarkan uraian di atas maka perlu langkah-langkah untuk mengantisipasi pengaruh negatif arus globalisasi terhadap nilai-nilai nasionalisme bangsa kita, khususnya terhadap perkembangan moral peserta didik
Langkah – langkah untuk mengantisipasi pengaruh negatif arus globalisasi perkembangan moral peserta didik antara lain:
1.         Menanamkan sikap kepada peserta didik untuk mencintai produk dalam negeri melalui pembelajaran di sekolah
2.         Menumbuhkembangkan nilai-nilai pancasila yang merupakan dasar negara kita terhadap peserta didik
3.         Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama tidak hanya tanggung jawab guru agama, melainkan merupakan tanggung jawab oleh semua guru bidang studi
4.         Menginformasikan kepada peserta didik untuk menyeleksi arus globalisasi dalam segala bidang, melalui pembelajaran
Dengan cara mengantisipasi pengaruh negatif arus globalisasi terhadap perkembangan moral peserta didik, diharapkan peserta didik yang nantinya merupakan sumber daya manusia yang akan datang terhindar dari budaya barat yang tidak relevan dengan nilai-nilai nasionalisme dan cita-cita luhur bangsa kita yang telah digariskan dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia
T.     Membangun Karakter Peserta Didik Di Era Globalisasi
Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan remaja. Pengaruh globalisasi terhadap anak muda begitu kuat. Pengaruh globalisasi tersebut telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dalam cara berpakaian, selera makan. Yang lebih memprihatinkan adalah pergaulan bebas antar remaja.Seperti yang diberitakan oleh Triono pemerhati masalah remaja dan Staf Pengajar FISIP UMPTB Menggala, menyatakan bahwa sebanyak 28,8 persen remaja Bandar Lampung melakukan seks bebas sehingga membuat mereka berpotensi terserang human immunodeficiency virus (HIV).
Pada Era globalisasi dewasa ini dekadensi moral tidak hanya terjadi di kalangan remaja saja, namun banyak terjadi pula dikalangan orang dewasa. Hal  ini tidak bisa kita pungkiri lagi, ternyata di negeri tercinta yang berdasarkan Pancasila ini telah menodai nilai-nilai luhur dari Pancasila itu sendiri. Hal ini terbukti semakin maraknya korupsi hampir di setiap departemen yang ada di negeri kita ini.
Untuk menumbuhkan karakter positip pada anak, orang tua perlu mengenalkan pada mereka tokoh-tokoh atau pahlawan yang bisa mereka jadikan idola. Usaha menumbuhkan karakter positip pada anak dapat dimulai sedini mungkin, misalnya melalui mendongeng atau dengan contoh lain.
Dalam dunia pendidikan, para guru dan perancang pembelajaran dalam mengembangkan strategi pembelajaran moral perlu mengupayakan peningkatan kemampuan siswa yang berkaitan dengan moral, misalnya melalui pemberian tugas, diskusi kelompok, atau bermain peran tentang seorang pahlawan atau sebaliknya, serta mencari contoh-contoh seorang pahlawan yang sesuai dengan idola mereka. Guru hendaknya menanggapi dengan serius segala persoalan moral dalam bentuk apapun, agar merangsang proses pemikiran mereka tentang pentingnya moral.C.Asri Budiningsih berpendapat bahwa salah satu upaya untuk mengatasi masalah-masalah moral di kalangan remaja adalah mengembangkan teori-teori dan model-model atau strategi pembelajaran moral yang berpijak pada karakteristik siswa dan budayanya. Penulis sependapat dengan Budiningsih. Hal ini akan memudahkan pemahaman siswa terhadap kualitas moral seseorang, karena karakteristik siswa merupakan kemampuan awal yang telah dimiliki siswa untuk kepentingan pembelajaran moral termasuk pemahaman moral dan tindakan moral yang tercermin pada peran sosialnya.
Uraian tersebut di atas senada dengan pendapat Prof Wardani bahwa karakter tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial budaya karena karakter terbentuk dalam lingkungan sosial budaya tertentu. Dalam hal ini para guru di sekolah dan orang tua harus saling mengisi untuk menumbuhkan karakter positip pada anak melalui pembelajaran yang berkaitan dengan pendidikan agama sehingga generasi mendatang bangsa kita menjadi bangsa yang beriman berbudi pekerti luhur, berakhlak mulia.

PEMBUKUAN SECARA KOMPUTERISASI

Pengertian Komputerisasi Akuntansi dapat digambarkan sebagai sistem akuntansi yang menggunakan sistem komputer dan perangkat lunak akuntansi...